Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Percakapan Kopi Tubruk dan Kopi Latte

24 Agustus 2022   19:38 Diperbarui: 24 Agustus 2022   19:50 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gambar oleh Keith Gillette dari pixabay.com

Jam dinding di salah satu pilar kedai kopi sudah menunjukkan angka 8.40. Bangunan kedai kopi itu didesain dengan banyak bukaan sehingga udara malam dari luar lebih leluasa masuk. 

Jadi tanpa air conditioner pun suhu di dalam tetap sejuk.

Salah satu barista baru selesai meracik segelas kopi tubruk, menggunakan kopi gayo yang aromanya begitu khas dan secangkir kopi latte dengan latte art gambar daun di permukaan cangkir. 

Kedua kopi diletakkan dengan rapi di atas nampan kayu, menunggu diantarkan oleh pelayan kedai kopi ke para pemesannya.

Kedua kopi saling berpandangan dengan sinis sebelum memulai percakapan sengit di antara mereka.

"Heran aku. Hari gini masih ada yang pesan kopi tubruk. Jadul banget!," kata kopi latte ketus.

Kopi tubruk menyahut tidak kalah ketus. "Lah, biar saja, tidak ada masalah. Heh! Kopi pakai ampas itu lebih maskulin tahu, lebih macho!"

"Tapi kopi latte itu lebih kekinian, lebih trendy. Pasti yang pesan kamu itu om-om atau kakek-kakek yang udah bau tanah."

Kopi tubruk mencibir. "Terus yang pesan kamu itu pasti ABG-ABG labil yang rapuh, yang dikit-dikit healing, dikit-dikit healing."

Untunglah pelayan segera datang dan mengangkat nampan, membawa kedua kopi ke para pemesannya. Kalau tidak, entah apa yang terjadi. Mereka pasti sudah adu jotos habis-habisan.

Pelayan itu mengantar kopi tubruk dan kopi latte ke meja nomor 8. Meja bundar kecil yang hanya dilengkapi dua kursi. Sudah ada penghuni di atas setiap kursi. 

Seorang bapak berkumis lebat dengan perut sedikit buncit dalam balutan jaket kulit dan seorang cowok ceking berusia 20-an mengenakan jaket hoodie berwarna hitam abu-abu. Keduanya sedang mengobrol hangat sambil sesekali saling memperlihatkan gawai masing-masing.

Si bapak menggenggam handphone dan si cowok memegang tablet dengan layar terbuka.

"Kopi latte dan kopi tubruk," ucap pelayan dengan ramah sembari memindahkan kopi-kopi dari nampan ke atas meja. Setelah anggukan dan ucapan terima kasih dari tamu-tamu, pelayan tersebut pergi.

Kedua kopi itu saling menertawai.

"Tuh kan, om-om."

"Yee, tuh kan anak ababil."

Tapi suasana saling mengejek itu hanya terjadi sesaat sebelum ekspresi keduanya berubah 180 derajat. Si cowok mengulurkan tangannya mengambil gelas kopi tubruk, sedangkan bapak berkumis meraih gagang cangkir kopi latte.

Mereka menyeruput kopi masing-masing dengan nikmat sambil melanjutkan percakapan. Dua lelaki itu sepertinya bertemu karena urusan bisnis. 

Keduanya mengobrolkan analisis fundamental, analisis teknikal dan saham-saham blue chip yang punya prospek bagus. Mereka tidak peduli pada kopi-kopi mereka yang saling pandang keheranan.

Kopi-kopi itu tidak tahu kalau di salah satu sudut kedai ada tulisan dinding terpampang besar-besar: Don't judge a man by his coffee.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun