Mohon tunggu...
Pical Gadi
Pical Gadi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan Swasta

Lebih sering mengisi kanal fiksi | People Empowerment Activist | Phlegmatis-Damai| twitter: @picalg | picalg.blogspot.com | planet-fiksi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Relawan Politik Mestinya Mengedukasi, Bukan Mengompori Netizen

7 Agustus 2022   20:09 Diperbarui: 9 Agustus 2022   20:52 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejumlah bendera politik peserta pemilu 2019 (Sumber: Kompas.com/Cokorda Yudistira)

Media sosial telah menjadi semacam "rumah kedua" bagi sebagian masyarakat kita. Silakan dihitung berapa jam dalam sehari kita berselancar di media sosial, entah itu hanya scrolling dan menjadi silent viewer atau ikut berinteraksi dengan sesama warganet lainnya. Bisa jadi durasi yang kita habiskan untuk berinteraksi di media sosial sama dengan waktu kita berinteraksi dengan kawan di dunia nyata, atau malah lebih panjang.

Ini membuat media sosial cukup diperhitungkan sebagai "medan juang" para relawan politik untuk menaikkan exposure tokoh atau elit politik yang mereka perjuangkan.

Sayangnya, media sosial juga bisa jadi medan perang yang tidak kalah brutal dari peperangan di dunia nyata. Belum hilang dari ingatan kita bagaimana panasnya atmosfer media sosial kita pada pilpres terakhir. 

Di sana kita bisa menemukan betapa tajamnya perseteruan antara warganet kubu capres Jokowi dan Prabowo yang digerakkan oleh para relawan politik ini. Setiap hari ada saja perang tagar, hoax dan black campaign yang membanjiri lini masa.

Memang ada juga relawan politik yang berargumen dengan adem, menggunakan data-data valid dan opini yang berbobot. Tapi unggahan-unggahan mereka biasanya kalah pamor dengan konten dari relawan politik yang cenderung melakukan framing dan kampanye hitam untuk memanas-manasi warganet.

Akibatnya, warganet (dan masyarakat) kita terpolarisasi sedemikian rupa. Hadirlah istilah-istilah untuk memberi label kepada kubu lawan, seperti cebong, kampret, kadrun dan lain-lain. Suasana sudah semakin tidak kondusif. Banyak netizen yang terseret kesana-kemari dan lupa kalau ini hanya perhelatan politik belaka. Ini membuat polarisasi tersebut menjadi susah dipulihkan.  

Buktinya, saat ini Pak Jokowi dan Pak Prabowo sudah berada dalam satu gerbong, tapi labeling dan perseteruan di media sosial masih terus saja terjadi.

Pilpres 2019 ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk melangkah ke pilpres 2024 yang lebih baik dan lebih kondusif.

Politik sesungguhnya bisa menjadi alat atau sistem yang tepat untuk memperbaiki kondisi masyarakat, bangsa dan negara. 

Sayangnya banyak orang yang apriori terhadap politik karena cara-cara yang digunakan para politisi sering kali kurang tepat ditambah lagi pemahaman masyarakat yang belum merata karena kurang teredukasi. 

Oleh karena itu dibutuhkan peran dari semua pihak untuk mencerdaskan masyarakat, termasuk para relawan politik yang banyak bersentuhan dengan para konstituen di akar rumput.

ilustrasi gambar dari nasional.kompas.com
ilustrasi gambar dari nasional.kompas.com

Mungkin saja ada pembagian tugas di antara para relawan politik. Ada yang bertugas mengolah data, ada yang bertugas menjawab isu-isu, ada yang harus bicara slow dan sopan, ada yang harus frontal dan seterusnya. Bagaimana pun jobdesk-nya, seluruh sistem kerja para relawan politik mestinya berada dalam bingkai memberi edukasi kepada masyarakat.

Berikut beberapa contoh kiat pencerdasan politik kepada masyarakat khususnya untuk para netizen, saat masa kampanye tiba.

Kampanye Sehat 

Saat sedang berkampanye mestinya para relawan politik menggunakan data-data yang valid. Informasi prestasi demi prestasi mengenai tokoh pilihannya harus benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. 

Ada evidence yang bisa ditunjukkan agar saat mereka menyampaikan program kerja, masyarakat bisa menganalisis dengan baik apakah program kerja tersebut memang masuk akal atau hanya sekadar retorika belaka.

Hindari black campaign untuk menjatuhkan pihak lawan, apalagi jika disertai dengan informasi sesat atau hoax. Juga yang tidak kalah penting adalah menghindari kampanye yang mengangkat sentimen SARA. 

Berkaca dari pengalaman pilpres  2019 lalu, kedua hal ini, hoax dan sentimen SARA, sangat mudah jadi pemicu perpecahan dalam masyarakat.

Adu Argumen dengan Baik

Sering kali para relawan politik yang berbeda kubu terlihat head to head beradu argumen di lini masa. Topiknya macam-macam. Bisa isu yang sedang aktual, pernyataan elit politik jagoan masing-masing dan topik-topik lainnya.

Saya biasa cukup menikmati jika adu argumen ini berjalan dengan sehat karena masing-masing mengemukakan opini yang berbobot didukung dengan data dan kajian-kajian ilmiah. 

Sayangnya, tidak jarang juga terjadi  adu argumen yang sudah menyimpang, khususnya jika salah satu atau kedua pihak jatuh pada logical fallacy. Yang sering terjadi adalah ad hominem atau perdebatan sudah menyerempet ke hal-hal yang sifatnya subjektif.

Dengan adu argumen yang baik, masyarakat yang mengikuti jalannya perbicangan pasti memperoleh informasi yang berharga untuk menunjang keputusan politiknya.

Menggali Isu yang Kurang Populer 

Biasanya topik-topik yang sering jadi perhatian utama para relawan politik tidak jauh-jauh dari ekonomi, sosial budaya, hankam, geopolitik dan topik-topik lain yang populer dan juga cukup dikenal masyarakat awam.

Selain karena memang topik-topik ini yang biasanya jadi acuan penilaian masyarakat terhadap kinerja calon pemimpinnya, referensi terhadap topik-topik ini relatif lebih mudah ditemukan.

Padahal menurut saya, "nilai jual" seorang tokoh akan bertambah jika memberi perhatian pada isu-isu lain yang kurang populer tetapi juga sama pentingnya untuk masyarakat. Ini bisa tercermin dari apa yang ikut disuarakan oleh relawan-relawan politik pada kubunya. 

Beberapa contoh topik yang biasa kurang digali dan dikemas dengan baik misalnya kesetaraan gender, lingkungan, microfinance, sains dan lain-lain.

Dengan berorientasi pada edukasi masyarakat, strategi apapun yang akan dikerahkan oleh para relawan politik untuk memenangkan jagoannya, mestinya akan bermuara pada perhelatan politik yang lebih kondusif dan damai.

Kecuali masih ada politisi yang memanfaatkan "kebodohan" sebagai cara untuk menangguk keuntungan sebesar-besarnya. Politisi seperti ini tentu tidak akan mempertimbangkan edukasi masyarakat sebagai opsi kampanye. Kita pun mestinya lebih awas dengan politisi seperti ini.

Tantangan bangsa kita ke depan semakin berat. Kita sudah harus fokus pada isu-isu lain yang lebih strategis seperti globalisasi, pemerataan pembangunan, ketahanan pangan, energi terbarukan dan hal-hal lain. 

Bagaimana mau bergerak maju, kalau energi kita habis hanya untuk gontok-gontokan dan berkelahi tidak jelas imbas perhelatan pilpres? Presidennya sudah terpilih, tapi masyarakatnya belum bisa move on dari masa kampanye.

Semoga pada pilpres 2024 nanti tidak ada lagi cara-cara kampanye yang cenderung mengompori bahkan membodohi dan memecah belah masyarakat. Peran para relawan politik sangat dibutuhkan untuk tujuan ini. 

Dengan pemilih yang lebih cerdas, kita pun akan menemukan tokoh-tokoh yang mampu memimpin bangsa ini ke tempat yang lebih tinggi. (PG)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun