Serdadu tua meninggalkan senjatanya di belakang bersama luka-luka dan segala kenangan tentang perang.
Dia membentuk partai politik dan mengajak serdadu-serdadu tua lainnya untuk berkoalisi. Mereka akan belajar menumbuhkan idealisme baru, bahwa perang perang bukan hanya tentang membunuh dan menguasai musuh dengan manuver bayonet, hujan peluru dan taktik.
Perang pun bisa dilakukan dengan santun melalui orasi, membangun persepsi, publikasi bahkan dalam senyap lewat lini masa.
Sayangnya, serdadu tua melupakan sesuatu. Dia masih menyimpan definisi tentang musuh di dalam kepalanya.
Akhirnya saat mendapat kesempatan emas berdiri di balik podium, dia pun melihat nyaris semua orang di dalam ruangan rapat paripurna adalah musuh. Ya, musuh, yang harus ditaklukkan dan dikuasai.
Padahal politik bukan tentang konfrontasi tapi kompromi, bukan tentang menaklukkan tapi mengayomi. Perang terlalu lama meracuni dan menggerogoti pikirannya. Sayup-sayup suara ledakan bom dan desing peluru kembali memenuhi telinganya, aroma mesiu juga mulai merayapi penciumannya.
Di ambang senja, dia pun berjalan pulang menelusuri jalan yang sudah dilewati, untuk menemukan kembali senjata yang sudah ditinggalkan.
Debu berjatuhan dari senjata itu. Tapi dia berharap, masih ada sebutir peluru yang tersisa untuk menembak musuh terakhir yang bersembunyi di dalam kepalanya.Â
---Â
kota daeng, 11 Oktober 2021