Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penderitaan Orang Papua pada Era Presiden Jokowi

5 Mei 2021   13:31 Diperbarui: 6 Mei 2021   08:32 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu ruas jalan jembatan komposit menuju kampung Kaye di Agats, yang dibangun oleh Presiden Jokowi, 20 April 2020. Dokpri.

Tanah Papua pada era kepemimpinan Presiden Jokowi tidak menjadi lebih aman dan damai. Tidak ada satu pun kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua yang diselesaikan oleh Presiden Jokowi. Bahkan pada era kepemimpinan Presiden Jokowi terjadi operasi militer di kabupaten Nduga, Intan Jaya dan Puncak. Kasus-kasus pembunuhan terhadap orang asli Papua atas nama keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak terbendung. Gelombang demonstrasi menuntut penyelesaian permasalahan Papua selalu dihadapi dengan sikap represif dari aparat keamanan Indonesia. Ruang-ruang demokrasi di Papua tertutup rapat.

Padahal, pada awal kepemimpinannya Presiden Jokowi berjanji akan menuntaskan pelanggaran HAM Papua. Janji itu diungkapkan Presiden Jokowi dalam pidatonya pada perayaan Natal Nasional di Jayapura, 27 Desember 2014, dua bulan setelah dirinya dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 24 Oktober 2014.

Hari itu, di alam terbuka, di tepian samudra Pasifik, pada bentang alam pegunungan Cyclop, tepatnya di lapangan Mandala, kota Jayapura, Presiden Jokowi mengatakan dirinya menyesalkan terjadinya kekerasan di Enarotali, Paniai pada 8 Desember 2014. Jokowi juga menyampaikan bahwa dirinya akan berusaha mendengarkan suara rakyat Papua. Ia menghendaki konflik di Papua segera berakhir. Janji Jokowi itu disaksikan ribuan orang Papua pada perayaan Natal Nasional yang dilaksanakan di lapangan Mandala, 27 Desember 2014.

"Dan, di tengah perayaan Natal ini, saya ingin menyampaikan, menyesalkan terjadinya kekerasan di Enarotali, di kabupaten Paniai baru-baru ini. Saya  ikut berempati terhadap keluarga korban kekerasan dan saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya, agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang," tutur Jokowi.

Janji Jokowi menyelesaikan kasus Paniai berdarah, 8 Desember 2014 sampai saat ini tidak pernah terealisasi. Kasus tersebut seakan lenyap ditelan bumi. Meskipun demikian, janji Presiden Jokowi kepada rakyat Papua pada 27 Desember 2014 di lapangan Mandala, kota Jayapura tak pernah lengkang oleh waktu, karena janji itu tertulis dan terpatri dalam sanubari segenap orang Papua.

Memahami Situasi Papua

Selalu ada pertanyaan, "Mengapa orang Papua mau merdeka?" Pertanyaan ini, dapat dijawab dengan pertanyaan, "Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap orang Papua sehingga orang Papua merasa tidak aman hidup di dalam rumah NKRI? Bagaimana meyakinkan orang Papua bahwa mereka adalah warga negara Indonesia?"

Kita telah membaca penelitian-penelitian ilmiah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang permasalahan Papua. Pada tahun 2009, LIPI menerbitkan buku, "Papua Road Mad." Buku tersebut menguraikan empat permasalahan pokok Papua yaitu sejarah integrasi Papua, masalah pembangunan, pelanggaran HAM dan masalah marginaliasi orang Papua.

Kita memahami orang Papua memiliki sejarah bangsanya sendiri. Papua pernah memproklamasikan dirinya sebagai bangsa merdeka pada 1 Desember 1961. Kita mengetahui bahwa pelaksanaan Pepera Juli-Agustus 1969 penuh manipulasi dan intimidasi. Kita mengetahui pelanggaran HAM Papua. Kita juga melihat bahwa pembangunan di Papua tidak menjawab kebutuhan orang Papua. Pembangunan membuat orang Papua semakin termarginal di atas tanah leluhurnya.

Kita melihat bahwa orang Papua dipaksa mengikuti arus global yang mengalir ke Papua seiring kemajuan transportasi dan teknologi komunikasi. Pada saat bersamaan, orang Papua tidak dibekali dengan keterampilan, teknologi dan modal yang memadai. Dampaknya, orang Papua tersingkir. Ruang-ruang ekonomi di tanah Papua berada di tangan kaum imigran.

Kita melihat tanah Papua menjadi ladang perebutan ekonomi bagi pemilik modal. Mulai dari pedagang kaki lima sampai konglomerat berlomba-lomba berinvestasi di tanah Papua. Orang Papua menjadi penonton. 

Di dalam situasi ini, pemerintah Indonesia tidak hadir melalui perundangan-undangan yang mengatur ruang gerak ekonomi orang Papua. Situasi ini membuat orang Papua terkapar karena belum mampu bersaing dengan kaum imigran yang memiliki modal, keterampilan dan keulatan menjalankan bisnis di tanah Papua.

Kita juga melihat layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan untuk orang Papua terbilang buruk. Di kampung-kampung pelosok Papua, tidak ada guru dan tenaga medis. Anak-anak usia sekolah tidak bisa mengenyam pendidikan dasar berkualitas. Demikian halnya, orang sakit tidak bisa mengakses layanan kesehatan di kampung.

Ketersediaan dokter, perawat, bidan, guru, orang asli Papua sangat terbatas. Selama 58 tahun (1963-2021), kita dapat menghitung berapa dokter, perawat, guru dan dosen orang asli Papua? Berapa kampung di pelosok Papua yang ada dokter, perawat, bidan dan guru?

Kondisi hidup orang Papua sebagaimana digambakan di atas  mengantar kita pada pertanyaan, "Apa arti orang Papua menjadi warga negara Indonesia kalau harus menanggung segala penderitaan yang disebabkan oleh ketidakpedulian negara Indonesia terhadap mereka?"

Selama Presiden Jokowi berkuasa sejak bulan Oktober 2014 sampai saat ini, pembangunan di Papua hanya berorientasi pada infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara dan beberapa pasar rakyat. Kita mengetahui bahwa infrastruktur tersebut lebih banyak digunakan oleh kaum imigran, yang memiliki motor dan mobil serta suka keluar dan masuk Papua. Orang Papua, yang sebagian besar tinggal di kampung tidak merasakan pembangunan itu.

Membangun Papua dengan Hati

Banyak orang bicara tentang membangun Papua dengan hati. Tetapi, berapa banyak orang yang berkomitmen sungguh-sungguh menerapkannya? Berapa banyak orang yang mau memahami orang Papua dengan kompleksitas kehidupan sosial, budaya, adat dan sejarahnya? Berapa banyak orang yang mau mengajak orang Papua yang berseberangan pemikiran dengan pemerintah Indonesia untuk duduk bicara di meja perundingan?

Apa sebenarnya hakikat membangun Papua dengan hati? Datang masuk ke dalam rumah hidup orang Papua dan duduk bicara dengan mereka. Bangunlah diskusi, percakapan, dialog dari hati ke hati. 

Melalui percakapan itu, masing-masing pihak saling mengungkapkan pendapatnya. Segala pendapat tersebut menjadi acuan dalam melaksanakan kebijakan pembangunan untuk orang Papua. Poin penting adalah datang masuk, dengarkan orang Papua dan perbuatlah sesuai permintaan orang Papua.

Selama ini, pemerintah Indonesia, khususnya pemerintahan Presiden Jokowi tidak mendengarkan orang Papua. Presiden Jokowi datang ke Papua, tetapi hanya berdiri di muka pintu rumah. Dia belum masuk ke dalam rumah hidup orang Papua. Karena itu, Jokowi menerapkan pembangunan yang tidak menyentuh esensi hidup orang Papua.

Apa filosofi membangun Papua? Kita melihat bahwa pembangunan yang diterapkan pemerintah di tanah Papua tidak bersifat holistik. Padahal, orang Papua memiliki prinsip hidup holistik. Orang Papua menghayati relasi hidup dengan sesama manusia, alam semesta, leluhur dan Tuhan Allah. Selama ini, Presiden Jokowi mengabaikan pembangunan Papua secara holistik. Kita tidak menemukan suatu acuan kerangka dasar pembangunan Papua yang bersumber dari pola hidup orang Papua.

Kita menyaksikan Presiden Jokowi datang ke Sentani, Sabtu, (27/12/2014), kelompok masyarakat minta pasar, maka dia membangun pasar Pharaa, Sentani. Presiden Jokowi ke Agats, Asmat pada saat kasus gizi buruk, pada Kamis, (12/4/2018) Januari 2018, di sana dia membangun jalan jembatan komposit dan penampung air hujan di Kaye dan wilayah lainnya di Asmat. Di seluruh tanah Papua, Presiden Jokowi membangun menurut pikirannya sendiri tanpa suatu kajian antropologis dan ekologis.

Di sisi lain, selama ini, tanah Papua memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus), tetapi mandul, tidak melahirkan peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan kontekstual Papua. Undang-Undang Otsus Papua tidak memiliki peraturan turunannya, kecuali Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP). 

Selebihnya, pemerintah provinsi Papua dan DPR Papua menyusun Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Pemerintah Indonesia cuci tangan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otsus. Karena itu, selama 20 tahun (2001-2021), Otsus tidak berdampak pada perbaikan kualitas hidup orang asli Papua. 

Pada era Presiden Jokowi pelaksanaan Undang-Undang Otsus Papua yang selama ini tidak efektif dicederai pula oleh adanya operasi militer di kabupaten Nduga (2018), Intan Jaya (2020) dan Puncak (2021). Operasi militer di ketiga kabupaten tersebut berlatar belakang atas nama pembangunan.

Di kabupaten Nduga bermula pada saat pembangunan jalan dari Wamena ke Nduga. Sedangkan di Intan Jaya dan Puncak terkait erat dengan rencana tambang emas di blok Wabu yang mencapai 40 ribu hektar sebagaimana surat Gubernur Provinsi Papua, tertanggal 24 Juli 2020, yang memberikan rekomendasi Wilayah Ijin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada Direktur Utama Mining Industry Indonesia.

Gelombang perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) terhadap aneka rencana pembangunan di Papua dihadapi oleh pemerintah Indonesia dengan mengirim pasukan militer ke tanah Papua. Tanah Papua menjadi zona darurat militer. Dampaknya, peperangan tidak terhindarkan. Korban rakyat sipil, guru, Gembala Gereja dan polisi-tentara berjatuhan. Bahkan kita menyaksikan Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI Gusti  Putu Danny Nugraha gugur di kampung Dambet, distrik Beoge, Puncak pada Minggu, (25/4/2021).

Realitas Papua saat ini, memperlihatkan kepada kita bahwa pembangunan di Papua tidak dilaksanakan dengan hati, melainkan pikiran emosional, amarah, dendam dan ketidaksukaan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua yang menuntut keadilan dan kebenaran atas sejarah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Orang Papua di kota-kota sampai ke pelosok menuntut keterbukaan pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali keberadaan Papua di dalam rumah NKRI. Tuntutan tersebut semakin menguat lantaran dokumen sejarah Papua memperlihatkan bahwa bergabungnya Papua ke dalam NKRI penuh rekayasa, intimidasi dan teror. Ironisnya, pemerintah Indonesia secara sadar menutup ruang-ruang dialog dengan orang Papua. Bagi Indonesia, Papua sudah final di dalam NKRI. Situasi demikian, membuat Papua semakin membara dari waktu ke waktu. Korban manusia berjatuhan dari kedua belapihak, Papua dan Indonesia.  

Kekinian, pada tanggal 29 April 2021, Menkopulhukam, Mahmud MD mengumumkan bahwa TPNPB dan segala organisasi yang berafiliasi dengannya dimasukkan dalam daftar jaringan teroris. Kita melihat bahwa Indonesia kewalahan menghadapi tuntutan keadilan dan kebenaran atas Papua sehingga melabeli TPNPB dan organisasi yang bersuara untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran atas Papua sebagai teroris. 

Pelabelan teroris pada organ perjuangan pembebasan Papua tidak akan pernah menyurutkan suara orang Papua menuntut keadilan dan kebenaran. Sebaliknya, pelabelan teroris itu akan membakar semangat perjuangan segenap elemen rakyat Papua agar lekas mencapai garis akhir yang dicita-citakan bersama yaitu Papua merdeka.

Secara keseluruhan, Papua pada era Presiden Jokowi (2014-2021) sangat memprihatinkan. Ruang-ruang dialog dengan orang Papua tertutup rapat. Pasukan militer memenuhi tanah Papua. Operasi militer gencar dilakukan di tanah Papua. Orang Papua mengungsi di atas tanahnya sendiri. Anak-anak tidak bisa pergi ke sekolah karena situasi operasi militer.

Kita melihat bahwa pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, pasar yang dilakukan oleh Presiden Jokowi tidak menyentuh akar permasalahan Papua. Pembangunan infrastruktur tersebut tidak menyentuh sukma orang Papua. Sebab, orang Papua tidak minta pembangunan infrastruktur.  Orang Papua minta, "Mari kita bicara dulu! Dengarkan kami!"

Saat ini, kebutuhan utama untuk menyelesaikan permasalahan Papua yaitu adanya ruang dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua. Orang Papua memiliki wadah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Pemerintah Indonesia dan ULMWP bisa saling bertemu di meja perundingan untuk membicarakan masa depan Papua secara bermartabat dan berkeadilan.

Apakah Presiden Jokowi akan membuka ruang dialog dengan orang Papua? Kita menunggu keajaiban itu datang. Satu hal yang pasti, selama pemerintah Indonesia tidak mau membuka ruang dialog dengan orang Papua, maka situasi Papua tidak akan aman dan damai. Sebab, sejarah mencatat bahwa pendekatan pembangunan dan operasi militer tidak pernah menyelesaikan akar permasalahan di suatu wilayah konflik. 

Semoga pemerintah Indonesia dalam kepemimpinan Presiden Jokowi mau membuka ruang dialog dengan orang Papua. Dengan demikian, segala permasalahan Papua dapat dibicarakan dan diselesaikan secara damai tanpa saling mengorbankan nyawa manusia. [Nbr, 05-05-2021].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun