Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Era Digital

19 Juli 2022   00:38 Diperbarui: 19 Juli 2022   00:49 2499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 "Betul, Bu. Sekarang seolah informasi tersebar bebas. Tidak terbatas. Malah informasi yang mendatangi kita, tidak perlu mencari. Muncul sendiri, sebagai notifikasi lagi. Seolah tiada hari tanpa notifikasi, Bu" begitu jawab kakakku ingin ikut berbicara dengan ibu ketika sarapan.

"Kalau begitu, semua orang ingin didengar. Semua berbicara, kalau sudah seperti itu ya cocok. Cocok yang mana. Sekarang eranya malah mendengar apa yang ingin didengar. Waktu bapak masih muda, untuk bisa ikut seperti itu harus berjuang. Bahkan, bertemu dengan pembicara yang menyebalkan. Ketika sekarang, ikut seminar saja bisa ditinggal makan atau kesibukan lain," timpal bapak tidak mau kalah menjelaskan.

Dan ibu seperti mendapat dukungan dari anak-anaknya. Ia tersenyum, meski aku yakin keresahannya sebagai dosen tidak membuatnya tinggal diam ketika ada penindasa, apalagi ketimpangan karena perkembangan era digital. Sementara aku, aku semakin asyik mencerna diskusi pagi ini, sebelum ibu berangkat mengajar.

"Tapi, apa ada temanmu yang tidak bisa ikut sekolah daring karena tidak ada peralatan yang mendukung?" Tak ayal Ibu mulai penasaran, aku tahu hatinya mulai resah.

"Mungkin kalau temanku tidak ada bu, tapi kemarin waktu mendengar Mbak Flory KKN. Katanya ada banyak siswa yang tidak melanjutkan sekolah, alasannya karena tidak ada perangkat untuk sekolah daring."

            "Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Ah itu.." Pertanyaan dari ibu sungguh membuat aku sakit hati. Ia seolah meragukan aku, belum lagi tentu dia tidak senang ketika aku menyebut nama Flory.

***

Aku sedikit paham kenapa ibuku melarangku untuk pacaran dengan Flory. Ibuku pernah dikecewakan dengan sebuah hubungan. Parahnya, itu membuat dia kehilangan banyak impiannya. Pacar ibu ketika masih mahasiswa merupakan orang yang posesif, jahatnya ibu malah dikhianati. Makanya, sekarang ibuku sebagai dosen mengajar dengan keras. Sekarang, ibu menjadi istri dari seorang pendeta sederhana di desa dan mengajar di sebuah universitas negeri. Ketika kelas daring, semua wajib membuka kamera menunjukkan wajahnya. Kalau tidak demikian, ibuku tidak segan untuk menuliskan ketidakhadirannya.

"Silakan dilanjutkan presentasi kelompok selanjutnya, bagi yang tidak menyalakan kamera. Saya akan remove, tidak hadir ya kalian. Alasan sinyal ?"

Aku mendengar cara ibu mengajar sebagai dosen, adanya pandemi membuat ibu mengajar di rumah. Kamarnya penuh buku, laptop menyala entah kapan dimatikan. Ketika ibu meminta mahasiswanya untuk menyalakan kamera, berbagai alasan aku dengar. Ada yang soal sinyal, perangkat tidak mendukung, hingga demi bisa hemat kuota data.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun