Kecemasan itu seperti bayangan gelap yang terus mengikuti saya walaupun tak terlihat oleh orang lain, tapi nyata dan menghimpit saya dari dalam.
Selama empat tahun aku hidup berdampingan dengan kekhawatiran yang seolah tak ada habisnya.Â
Aku belajar untuk terlihat tegar. Aku tertawa, bercanda, bahkan kadang jadi yang paling ceria di antara teman-teman.
 Tapi ternyata, berpura-pura kuat membuatku lupa satu hal penting: mencari jalan keluar dari zona cemas itu sendiri.
Kehidupan dalam bayang-bayang kecemasan bukan kehidupan yang nyaman.Â
Setiap aku melihat orang lain yang tampaknya lebih berhasil, lebih tahu arah hidup, lebih dekat dengan masa depan yang mereka impikan aku merasa kecil dan tersudutkan.Â
Aku merasa tertinggal. Langsung saja perasaan itu berubah menjadi tekanan di dada, lalu menjalar jadi tangis diam-diam di pojok kamar.
Malam adalah waktu paling jujur. Saat tidak ada lagi yang bisa dilihat selain diriku sendiri.Â
Di sinilah aku sering duduk diam, menarik napas panjang, dan bertanya pada diri sendiri:
Sebenarnya apa sih alasan kamu hidup?
Apa tujuan hidupmu?
Mengapa kamu membiarkan rasa cemas itu mengikatmu begitu lama?
Tapi malam yang sunyi itu juga perlahan mengajarkanku satu hal: bahwa mungkin saat ini aku tidak harus tahu semua jawabannya sekarang.Â
Bahwa hidup tidak selalu harus penuh kepastian agar bisa dijalani.Â