Selama aku menjalani dunia pendidikan, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar pergi dari dalam hidupku yaitu: rasa cemas akan masa depan.Â
Aku sering merasa seolah sedang berjalan dalam lorong panjang yang tak berujung, dikelilingi dengan bayangan-bayangan ketakutan yang belum tentu nyata.Â
Tapi anehnya, justru hal-hal yang belum pasti itulah yang paling sering membuatku hampir menyerah.
Di dalam dunia yang serba instan ini, aku sering merasa semakin tertekan.Â
Mengapa bisa begitu?Â
Karena ketika aku membuka media sosial, aku langsung disambut oleh potret kesuksesan dan kebahagiaan orang lain.Â
Mereka tampak jauh berkarier mapan, pencapaian akademik, liburan mewah, pasangan yang suportif.Â
Sementara aku... masih di sini, dengan segudang pertanyaan dan keraguan yang terus menghantui.
Setiap hari aku menjalani peranku seperti biasa.Â
Belajar, bertemu teman, ketika salah satu teman bertanya apakah kamu baik-baik saja? saya selalu menjawab "Aku baik-baik saja" ketika ditanya.Â
Tapi hanya aku yang tahu betapa beratnya menahan semua itu sendirian.Â
Kecemasan itu seperti bayangan gelap yang terus mengikuti saya walaupun tak terlihat oleh orang lain, tapi nyata dan menghimpit saya dari dalam.
Selama empat tahun aku hidup berdampingan dengan kekhawatiran yang seolah tak ada habisnya.Â
Aku belajar untuk terlihat tegar. Aku tertawa, bercanda, bahkan kadang jadi yang paling ceria di antara teman-teman.
 Tapi ternyata, berpura-pura kuat membuatku lupa satu hal penting: mencari jalan keluar dari zona cemas itu sendiri.
Kehidupan dalam bayang-bayang kecemasan bukan kehidupan yang nyaman.Â
Setiap aku melihat orang lain yang tampaknya lebih berhasil, lebih tahu arah hidup, lebih dekat dengan masa depan yang mereka impikan aku merasa kecil dan tersudutkan.Â
Aku merasa tertinggal. Langsung saja perasaan itu berubah menjadi tekanan di dada, lalu menjalar jadi tangis diam-diam di pojok kamar.
Malam adalah waktu paling jujur. Saat tidak ada lagi yang bisa dilihat selain diriku sendiri.Â
Di sinilah aku sering duduk diam, menarik napas panjang, dan bertanya pada diri sendiri:
Sebenarnya apa sih alasan kamu hidup?
Apa tujuan hidupmu?
Mengapa kamu membiarkan rasa cemas itu mengikatmu begitu lama?
Tapi malam yang sunyi itu juga perlahan mengajarkanku satu hal: bahwa mungkin saat ini aku tidak harus tahu semua jawabannya sekarang.Â
Bahwa hidup tidak selalu harus penuh kepastian agar bisa dijalani.Â
Mungkin yang aku butuhkan bukan jawaban instan, tapi keberanian untuk tetap berjalan meski hati penuh dengan tanya.
Sekarang aku sedang belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri.Â
Belajar menerima bahwa menjadi rapuh bukanlah tanda kegagalan.Â
Bahwa menangis bukan berarti lemah. Bahwa tidak tahu arah bukan berarti tidak akan pernah sampai.
Aku belum selesai, dan mungkin perjalananku masih panjang.Â
Tapi aku masih di sini, masih bernafas, masih mencoba.Â
Dan itu, menurutku, adalah kemenangan kecil yang patut saya dihargai.
Jika kamu sedang membaca ini dan merasakan hal yang sama, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri.Â
Banyak dari kita yang tertawa di luar tapi hancur di dalam.Â
Dan tidak apa-apa, yang penting, jangan pernah berhenti untuk terus berjalan.Â
Terus hidup, meski pelan. Terus berjalan, meski sering langkahmu pelan.Â
Karena mungkin, jawaban dari semua ini akan kamu temukan justru saat kamu memutuskan untuk tidak menyerah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI