Ada yang menarik dan sekaligus menyedihkan dari dinamika birokrasi kita hari ini. Di sebuah instansi pemerintah, baru-baru ini beredar surat edaran resmi yang isinya melarang pegawai menyertakan "dukungan" atau "aliansi kekuasaan" saat mengajukan mutasi. Ya, Anda tidak salah baca. Surat edaran itu secara eksplisit menyebut bahwa pegawai tidak boleh membawa nama anggota DPR, tokoh politik, pejabat daerah, atau institusi lain untuk memperlancar proses mutasinya.
Sepintas, ini bisa dilihat sebagai bentuk ketegasan. Sebuah upaya mulia untuk menjaga sistem mutasi agar tetap berada di jalur objektif, adil, dan berbasis kinerja. Tapi jika kita tarik napas sejenak dan merenung lebih dalam, muncul pertanyaan menohok, mengapa sampai perlu ada surat seperti itu? Bukankah jika sistem sudah berjalan sebagaimana mestinya, surat larangan seperti itu tak perlu dibuat? Bukankah mutasi seharusnya berbasis kompetensi, kebutuhan organisasi, dan aspirasi pegawai, bukan "siapa yang dibawa"?
Surat edaran itu bukan sekadar dokumen administratif. Ia adalah cermin. Cermin dari sesuatu yang lebih dalam, krisis kepercayaan terhadap sistem meritokrasi.
Meritokrasi: Antara Narasi dan Realita
Meritokrasi, dalam idealnya, adalah sistem yang memberikan penghargaan berdasarkan kemampuan, kinerja, dan kompetensi. Dalam dunia birokrasi, ini berarti setiap keputusan tentang promosi, rotasi, dan mutasi harusnya berlandaskan pada kapabilitas dan kebutuhan organisasi, bukan pada siapa yang punya akses, siapa yang dekat dengan kekuasaan, atau siapa yang mampu "membawa nama besar."
Namun realitas birokrasi Indonesia jauh dari gambaran itu. Meskipun meritokrasi selalu disebut dalam pidato pejabat, tertulis dalam UU, RPJMN, dan menjadi landasan reformasi birokrasi, penerapannya seringkali hanya berhenti di tataran normatif. Di lapangan, ASN tetap merasakan bahwa keputusan mutasi dan promosi bisa sangat dipengaruhi oleh faktor relasi pribadi, afiliasi politik, atau bahkan "pesanan" yang disampaikan secara informal.
Hal ini menciptakan kesenjangan antara yang tampak dan yang dirasakan. Ketika kebijakan berkata A, tetapi praktik di lapangan memperlihatkan B, maka yang terjadi adalah ketidakpercayaan. Pegawai yang berkinerja baik mulai ragu, apakah hasil kerjanya sungguh dihargai, atau hanya formalitas?
Tidak jarang, pegawai yang mencoba mengikuti prosedur resmi merasa kalah langkah dibanding mereka yang punya akses informal ke pengambil keputusan. Ini menjadi cerita yang terus diulang di ruang-ruang makan siang, obrolan informal, dan grup WhatsApp ASN. "Kalau nggak ada yang dorong dari atas, atau ada koneksi, susah naik," begitu sering terdengar. Narasi ini menyebar luas dan membentuk persepsi kolektif bahwa sistem tidak benar-benar berpihak pada keadilan kompetensi.
Dalam perspektif psikoanalitik, ini adalah bentuk represi kolektif, birokrasi menolak mengakui bahwa sistem meritnya belum sehat, dan sebagai gantinya membangun narasi yang ideal tetapi tidak dihidupi. Inilah yang menjadikan meritokrasi di birokrasi kita tampak utuh di atas kertas, namun keropos dalam implementasi.
Ketika Kita Tidak Percaya Sistem Kita Sendiri
Bayangkan betapa ironisnya, negara membentuk sistem merit, menilai kinerja dengan indikator rumit, membuat aplikasi evaluasi, pelaporan berkala, dan audit manajemen SDM. Tapi pada saat yang sama, para pegawai merasa perlu meminta bantuan "kekuatan eksternal" agar suaranya didengar. Ini bukan hanya soal prosedur yang rumit atau akses yang terbatas, ini tentang krisis kepercayaan terhadap keadilan dan objektivitas sistem itu sendiri.