Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Pemulung Ilmu

Pemulung ilmu yang punya hobi menulis, berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan. Pernah belajar Psikologi dan Administrasi Bisnis waktu di Kampus, dan saat ini berupaya menemukan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupan nyata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Meritokrasi di Atas Kertas: Saat Kenyataan Tidak Sesuai Kebijakan

12 Juli 2025   04:04 Diperbarui: 12 Juli 2025   04:04 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikreasikan oleh AI

Kondisi ini mencerminkan kontradiksi psikis kolektif yang dalam. Di satu sisi, ASN dituntut percaya pada sistem. Di sisi lain, pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa sistem bisa saja tunduk pada pengaruh eksternal. Ketika kompetensi tidak menjamin pergerakan karier, ketika integritas tidak menjamin perlindungan, maka wajar jika pegawai mulai mencari "jalan alternatif" meskipun mereka tahu itu melanggar etika formal.

Dalam teori psikoanalisis, kondisi seperti ini menunjukkan adanya shadow institusional, bagian gelap dari sistem yang tidak ingin diakui, tetapi terus hidup di bawah permukaan. Shadow ini bukan hanya tentang aktor-aktor yang menyalahgunakan kewenangan, tetapi juga tentang ketakutan kolektif bahwa sistem tidak akan adil tanpa campur tangan kekuasaan.

Ketika shadow ini tidak dihadapi secara sadar, maka ia akan terus mereproduksi dirinya dalam bentuk perilaku menyimpang secara kolektif. Semua tahu itu salah, tapi tetap dilakukan karena dianggap lebih realistis ketimbang berharap pada sistem yang belum sepenuhnya dipercaya. Inilah paradoksnya, aturan ditegakkan, tapi tidak diyakini; meritokrasi dijanjikan, tapi dibayangi oleh relasi personal; dan ASN dipaksa percaya pada sesuatu yang tak pernah sungguh-sungguh dibuktikan oleh sistem itu sendiri.

Ketegasan yang Menyedihkan

Surat edaran larangan titipan mutasi adalah bentuk ketegasan administratif. Tapi ia juga semacam pengakuan diam-diam bahwa praktik itu lazim terjadi. Bahwa selama ini birokrasi kita tidak benar-benar percaya pada meritokrasi. Bahwa sistem kita masih bergantung pada relasi, bukan pada profesionalitas.

Ketegasan ini terasa menyedihkan karena harus muncul dari sesuatu yang seharusnya tidak perlu diatur secara eksplisit, sebuah norma etik dasar yang semestinya sudah menjadi bagian dari budaya organisasi. Dalam psikoanalisis institusional, ini bisa dibaca sebagai upaya sistem untuk menegaskan ulang batas norma yang selama ini tergerus oleh ketidakkonsistenan antara prinsip dan praktik. Namun penegasan seperti ini justru menunjukkan kegagalan internalisasi nilai dalam kesadaran kolektif.

Dalam perspektif manajemen dan perubahan organisasi, terlalu banyak aturan mikro seperti ini justru mencerminkan disfungsi sistemik. Ketika hal-hal yang seharusnya menjadi kesepahaman moral harus dituliskan dan disosialisasikan dalam bentuk larangan formal, itu artinya nilai tersebut belum tumbuh dari dalam diri organisasi, belum menjadi bagian dari identitas kultural birokrasi itu sendiri.

Lebih dari itu, ketegasan yang bersifat administratif sering kali justru menciptakan lapisan represi baru. ASN yang sebelumnya menyuarakan keresahan justru akan semakin diam, bukan karena sadar, tapi karena takut salah langkah. Maka alih-alih memperkuat nilai meritokrasi, ketegasan ini bisa memperdalam luka ketidakpercayaan jika tidak disertai pemulihan sistemik dan kepemimpinan yang memberi teladan.

Inilah mengapa ketegasan semacam ini harus dilihat tidak hanya sebagai produk hukum administratif, tetapi sebagai sinyal bahwa sistem perlu terapi, bukan sekadar perintah. Ia menuntut bukan hanya kepatuhan, tetapi juga kesadaran dan keberanian untuk membenahi akar persoalan secara kolektif dan berkelanjutan.

Curahan ASN yang Lelah

Seorang ASN pernah menuliskan, "Saya sudah bicara banyak, menyampaikan ide, teori, dan pendekatan baru agar birokrasi kita berubah. Tapi selalu kembali ke pola lama. Diam itu aman. Tunduk itu selamat. Berisik itu mengancam. Saya lelah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun