Salah satu masalah terbesar dalam UU Penyiaran adalah belum terlaksananya Sistem Penyiaran Jaringan. Pada Pasal 31 disebutkan, "Lembaga Penyiaran Swasta dapat menyelenggarakan siaran melalui sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah terbatas." Penjelasan tentang Sistem Penyiaran Jaringan itu terdapat pada pasal 6. Sistem ini mengadopsi penyiaran di beberapa negara maju, dengan tujuan mengurangi dominasi televisi swasta di Jakarta. UU Penyiaran mengatur sedemikian rupa sehingga televisi lokal pun bisa hidup berdampingan dengan televisi nasional.
Beberapa tahun setelah UU Penyiaran berlaku, televisi lokal bermuncul di mana-mana. Harapan besar jelas tergambar dari para pemilik modal daerah untuk menikmati juga kue iklan televisi yang besar itu, sekaligus meningkatkan muatan lokal dalam siaran. Apa yang terjadi kemudian? Hingga detik ini, Sistem Penyiaran Berjaringan tak juga berjalan. Televisi lokal pun berguguran kemudian.Â
Konon, kekuatan modal televisi nasional menjadi salah satu faktor. Bukan rahasia lagi jika sistem ini berjalan maka kue iklan akan terbagi kepada televisi lokal. Tentu saja suatu kerugian besar buat televisi swasta nasional yang berkedudukan di ibu kota negara.
Cukup banyak aturan dalam UU Penyiaran yang belum atau tidak dilaksanakan atau bahkan dilanggar. Termasuk tentang pembatasan kepemilikan seseorang di industri penyiaran. Kita tahu sendiri siapa saja gelintir pemilik televisi swasta nasional. Aturan masih bisa dinegosiasi.
Sekarang mereka kebakaran jenggot dengan kehadiran media sosial dan internet yang makin merajalela? Sebaiknya mereka juga bercermin. Jangan sampai buruk muka sendiri, cermin yang dibelah.
Kita sebagai bagian dari publik -- pemilik spektrum frekuensi radio -- berhak menggugat mereka atas ketidakpatuhan terhadap Undang-undang Penyiaran. Siapa tahu ada yang berpikir untuk menggugat balik mereka?