Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ini Saatnya Gugat Balik Televisi Swasta

29 Agustus 2020   13:04 Diperbarui: 29 Agustus 2020   13:08 913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olah berbagai sumber

Grup media massa terbesar di Indonesia Kompas Gramedia menjadi salah satu korban, meski sudah berupaya menyesuaikan. Beberapa nama beken media besutan Kompas Gramedia seperti Majalah Hai atau Tabloid Bola, gulung tikar.

Tepatkah Gugatan RCTI ini?
Saya acungi jempol buat RCTI dan grupnya yang berani mengajukan gugatan UU Penyiaran kepada Mahkamah Konstitusi. Mungkin hal ini merupakan salah satu cara dari sekian banyak jalan untuk mengatasi beragam masalah perusahaan. Pemasukan terus berkurang, apalagi pada masa pagebluk Covid-19. Di luar sana, ada pihak lain yang justru berpesta pora. Sungguh keadaan yang tidak adil dan sangat menyesakkan.

Namun demikian apakah sudah tepat gugatan ini? Tidak. Sama sekali tidak tepat. Sekian lama saya bekerja di dunia penyiaran dan mempelajari beragam aturan yang melingkupinya. Dalam Undang-undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 secara tegas dan jelas disebutkan tentang definisi penyiaran.

Pasal 1 ayat 2 berbunyi penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.

Artinya, penyiaran yang tidak menggunakan spektrum frekuensi radio tidak termasuk dalam objek yang diatur dalam undang-undang ini. Kecuali jika memang disebutkan secara khusus, seperti televisi berlangganan.  

Dalam Pasal 1 ayat 8 dijelaskan tentang spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas.

Inilah alasan kenapa radio dan televisi diatur begitu ketat dan rigid. Ini pula alasan kenapa penyiaran perlu suatu komisi khusus (Komisi Penyiaran Indonesia -- KPI). Media penyiaran seperti televisi dan radio menggunakan spektrum frekuensi radio milik publik. Milik kita semua. Milik rakyat Indonesia. Oleh karenanya, pemilik stasiun televisi dan radio tak boleh sesuka hati menggunakan medianya. Tak boleh mentang-mentang punya dana besar dan jaringan kekuasaan, lalu menyiarkan materi siaran sesuai kepentingannya.

Apakah Rans Entertainment, Baim Wong, Anji, Sule Channel, Taulany TV, atau jutaan penyedia konten di Youtube dan jutaan lainnya melalui Instagram atau Facebook, menggunakan spektrum frekuensi radio milik publik? Tidak. Jadi, media sosial tidak bisa diatur dengan UU Penyiaran karena mereka tidak termasuk dalam kategori penyiaran seperti yang dimaksud dalam UU tersebut.

Mereka mungkin bisa disamakan seperti media massa cetak. Mereka tidak menggunakan media milik publik. Kertas sebagai alat penyebaran media cetak, bukan milik publik. 

Media massa cetak mendapatkan perlakuan berbeda dalam menyebarkan informasi kepada masyarakat dibanding media penyiaran. Ketat iya, tapi tak seketat penyiaran. Tidak ada lembaga selevel KPI di sana. Yang ada hanya Dewan Pers yang tugas dan perannya berbeda dengan KPI. Media massa cetak memiliki aturan tersendiri dalam Undang-undang Pers, dan lebih banyak dibatasi oleh Kode Etik.

Jika mau mengatur kehidupan penyiaran di media sosial akan lebih tepat pemerintah dan DPR mengeluarkan undang-undang baru. Mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam Undang-undang Penyiaran, apalagi ke dalam Undang-undang Pers.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun