Mohon tunggu...
Y S Margana
Y S Margana Mohon Tunggu... Wirausaha -

Yamaha Semakin di Depan, Tapi Dump Truck Tak Bisa Dilawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Puluh Kilometer

5 September 2018   09:21 Diperbarui: 5 September 2018   09:24 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Berapa memang uangmu itu, Le?"

"Tiga ribu rupiah pak" ujar Si Bocah sembari terseringai malu.

"Yo wis Le. ndak papa" Ucap Lik Karso sambil meraih genggaman tangan anak itu. Jari besar dan kasarnya meraba-raba uang receh si bocah. Lalu diambilkannya satu jakrakan dari ronjotan. Dia pasangkan tali pada bagian depan supaya mainan itu bisa melaju saat ditarik tuannya.

Diberikannya jakrakan yang tak kunjung laku pada bocah itu. Disusul jemari berjumput mengembalikan empat uang koin 500 rupiah pada bocah itu. "Ini le, buat beli minum nanti".

Bocah pengamen itu tak sanggup membendung perasaannya. Berjingkat kaki mungilnya. Dipandangnya mata Lik Karso dengan binar gembira sambil bibirnya tersungging senyum lebar. Hari itu dia mendapat semacam surprize yang sangat membahagiakan. Kejutan dari orang pinggiran. Jakrakan terhuyung-huyung ditarik. Karena terlalu ringan mainan itu sesekali berlompatan ke udara. Mata lelah Lik Karso terus mengikuti bocah pengamen itu. Tak sempat mulut bocah dekil itu mengucap terima kasih, hingga akhirnya dia lenyap usai menghilang di belokan ujung perlimaan.

Saat ini di kantong baju coklat bergaris Lik Karso tersimpan satu koin logam seribu rupiah. Jauh panggang dari api. Namun, dia tidak sedih. Hanya saja sedang menyedihkan sesuatu yang pahit dalam hatinya. Kenyataan bahwa uang itu dia dapat dari bocah yang jauh lebih muda dari Si Tole di kampung. Bocah kecil yang tak sempat nikmati waktu.

***

Suara cabak tak lagi di dengar Lik Karso. Burung itu tak lagi melayang di atas tengadahnya. Yang kini tersisa di dekatnya hanya bangunan kuno tinggalan Belanda. Yang sudah lapuk temboknya, catnya terkelupas, halaman sempitnya dipenuhi rumput liar, dan pagarnya sudah berkarat parah.

Gelap bangunan itu karena nihil lampu penerangan, namun di seberangnya begitu kontras. lampu-lampu kendaraan penuh riuh menyoroti jalan. Begitu modern. Karso ada di sana hanya sebagai elemen kontras. Mereka adalah sepotong sudut zaman yang seolah modernisasi meninggalkannya deras di belakang. Sangat jauh. Bangunan Belanda dan Penjual Jakrakan.

Beberapa mobil mendadak melambat usai tak kebagian lampu hijau. Terpaksa harus berhenti barang sejenak. Puluhan detik terasa begitu lama bagi para pekerja yang ingin segera sampai di rumah. Tapi rakyat kecil bisa apa. Membebaskan diri dari macet setiap jam pulang kerja sama saja seperti melarikan diri dari cengkraman naga dengan tangan hampa.

Satu mobil berwarna perak terlihat menepi. Sopirnya tergopoh-gopoh keluar menghampiri dagangan Lik Karso usai memarkir mobil tak jauh darinya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun