Pada awal 2025, Indonesia resmi bergabung dengan BRICS---kelompok negara berkembang yang mencakup Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan---sebagai anggota penuh pertama dari Asia Tenggara. Langkah ini mencerminkan upaya Indonesia untuk memperluas pengaruh global dan mendiversifikasi kerja sama strategis, termasuk dalam bidang pertahanan. Seiring dengan itu, TNI Angkatan Udara di bawah kepemimpinan Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono menghadapi tantangan modernisasi alutsista, terutama setelah pensiunnya F-5 Tiger II dan penundaan proyek jet tempur KF-21 Boramae. Dengan hanya 33 pesawat tempur siap tempur dari target minimum 100 unit, TNI AU mempertimbangkan pembelian jet tempur J-10C buatan China sebagai alternatif untuk memperkuat pertahanan udara nasional . Ketegangan geopolitik di Asia Selatan, khususnya konflik antara India dan Pakistan di Kashmir yang melibatkan serangan udara dan risiko eskalasi nuklir, turut mendorong Indonesia untuk memperkuat postur pertahanannya tanpa terlibat langsung dalam konflik tersebut . Dalam konteks ini, pembelian alutsista dari China dipandang sebagai langkah netral yang menghindari ketergantungan pada blok Barat atau Rusia, serta sejalan dengan posisi Indonesia sebagai anggota BRICS yang mendukung tatanan multipolar dunia.
Chengdu J-10C adalah jet tempur multiguna generasi 4.5 buatan China yang dirancang untuk menyaingi F-16, dengan keunggulan pada radar, mesin, dan sistem persenjataan. Radar AESA KLJ-10-nya mampu mendeteksi target dengan luas penampang radar 5 m dari jarak lebih dari 200 km, memungkinkan pelacakan hingga 20 target sekaligus dan dilengkapi fitur low-probability-of-intercept (LPI) untuk mengurangi risiko terdeteksi musuh . Jet ini ditenagai mesin WS-10B buatan dalam negeri dengan daya dorong sekitar 142 kN, meningkatkan keandalan dan mengurangi ketergantungan pada mesin impor . J-10C juga dilengkapi rudal PL-15 untuk serangan jarak jauh hingga 200 km dan PL-10 untuk pertempuran jarak dekat, memberikan kemampuan serangan dari luar jangkauan visual lawan . Dengan 11 titik gantung senjata, J-10C dapat membawa berbagai jenis rudal dan bom pintar, serta memiliki avionik digital dan sistem peperangan elektronik terintegrasi yang meningkatkan kesadaran situasional pilot . Desain sayap delta dan canard memberikan kelincahan tinggi, menjadikannya cocok untuk berbagai misi udara. Kombinasi fitur-fitur ini membuat J-10C menjadi pilihan menarik bagi negara-negara yang mencari jet tempur modern dengan biaya lebih terjangkau dibandingkan alternatif Barat.
Indonesia mempertimbangkan pembelian 42 jet tempur J-10C bekas dari China sebagai bagian dari strategi diversifikasi alutsista, setelah rencana akuisisi Su-35 Rusia terhambat oleh ancaman sanksi AS melalui undang-undang CAATSA dan tingginya biaya pengadaan jet tempur Barat seperti Rafale dan F-16V yang mencapai USD 120--240 juta per unit. Sebaliknya, J-10C ditawarkan dengan harga lebih terjangkau sekitar USD 40--55 juta per unit, disertai skema pembiayaan lunak dari China Exim Bank yang memungkinkan pembayaran berbasis komoditas seperti nikel dan minyak sawit mentah (CPO), serta tawaran transfer teknologi sebesar 35% mencakup pelatihan perawatan dan lisensi produksi komponen. Langkah ini sejalan dengan kebijakan Indonesia sebagai anggota BRICS yang berupaya mengurangi dominasi dolar AS dalam transaksi internasional dan memperkuat kerja sama Selatan-Selatan. Dengan mengadopsi platform alutsista dari China, Indonesia tidak hanya memperoleh solusi modernisasi pertahanan yang lebih ekonomis, tetapi juga memperkuat posisi geopolitiknya dalam tatanan multipolar dunia.
Sebanyak 42 unit jet tempur J-10C yang ditawarkan kepada Indonesia berasal dari skuadron Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAAF) di Komando Teater Selatan, yang telah beralih ke pesawat generasi kelima J-20 pada tahun 2024. Pesawat-pesawat ini berusia antara 5 hingga 8 tahun dengan rata-rata jam terbang sekitar 1.200 jam, yang berarti masih memiliki sekitar 60% masa pakai tersisa. Untuk memastikan kesiapan operasional, China melalui perusahaan AVIC menawarkan paket pemeliharaan yang mencakup peningkatan mesin WS-10B, penggantian radar KLJ-10A, serta jaminan ketersediaan suku cadang selama 10 tahun. Langkah ini memberikan Indonesia opsi modernisasi armada udara dengan biaya yang lebih terjangkau dan dukungan teknis jangka panjang, sejalan dengan upaya diversifikasi alutsista nasional.
Indonesia merancang pembelian 42 jet tempur J-10C dari China dengan skema pembiayaan yang inovatif, di mana 40% pembayaran dilakukan lewat ekspor komoditas seperti nikel dan bauksit, 30% menggunakan mata uang yuan, dan 30% dalam rupiah, sehingga meringankan beban keuangan negara sekaligus memanfaatkan sumber daya alam domestik. Selain itu, paket pembelian juga mencakup transfer teknologi yang signifikan, termasuk pelatihan teknisi Indonesia di pabrik Chengdu Aerospace Corporation, pemberian lisensi kepada PT Dirgantara Indonesia untuk memproduksi komponen penting seperti avionik dan undercarriage, serta integrasi sistem komunikasi data MADL yang memungkinkan jet-jet tersebut beroperasi terpadu dengan sistem pertahanan nasional. Strategi ini tidak hanya mempercepat modernisasi alutsista TNI AU secara efektif dan ekonomis, tetapi juga meningkatkan kemandirian industri pertahanan Indonesia serta kemampuan interoperabilitas dengan sistem yang sudah ada.
Jet tempur J-10C buatan China menawarkan kombinasi kemampuan yang cukup kompetitif dibandingkan pesawat tempur modern lain seperti Rafale F4, Su-35, dan F-16V, terutama pada radar AESA KLJ-10A dengan jangkauan deteksi hingga 320 km dan rudal jarak jauh PL-15 yang memungkinkan serangan presisi sebelum musuh mendeteksi kehadirannya. Meskipun agility-nya sedikit di bawah Rafale dan Su-35, serta jangkauan terbangnya (1.850 km) lebih pendek dibanding Su-35 (3.600 km), J-10C memiliki keunggulan biaya yang signifikan dengan harga bekas sekitar 55 juta dolar AS per unit dan biaya operasi hanya sekitar 8.000 dolar per jam, jauh lebih murah dibanding Rafale yang mencapai 16.500 dolar per jam. Sistem peperangan elektronik (EW) terintegrasi pada J-10C juga mendukung kemampuan bertahan dan menyerang. Namun, J-10C masih bergantung pada suku cadang dari China, yang menjadi pertimbangan strategis Indonesia dalam jangka panjang. Secara keseluruhan, J-10C merupakan pilihan efisien dan efektif untuk memperkuat armada udara dengan anggaran terbatas tanpa mengorbankan teknologi dan performa tempur.
Ketegangan yang meningkat di Kashmir antara India dan Pakistan pada Mei 2025 mempercepat kebutuhan India untuk memperkuat armadanya dengan Rafale dan SU-30MKI, sementara Indonesia memilih jalur berbeda dengan membeli jet tempur J-10C dari China untuk menghindari ketergantungan pada Rusia dan Amerika Serikat yang rawan sanksi internasional. Meski langkah ini berpotensi memicu pembatasan akses Indonesia terhadap pelatihan militer bersama AS seperti "Cope West," pemerintah menegaskan bahwa J-10C dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan maritim dan menjaga kedaulatan, bukan sebagai alat ekspansi kekuatan. Kesepakatan ini juga memperkuat hubungan strategis Jakarta-Beijing setelah Indonesia resmi menjadi anggota BRICS, membuka peluang kerja sama teknologi lebih lanjut, termasuk potensi kolaborasi pada proyek jet siluman FC-31, yang menandai pergeseran signifikan dalam dinamika geopolitik kawasan menuju multipolaritas.
Laporan pembelian 42 unit jet tempur J-10C bekas oleh Indonesia yang pertama kali muncul pada 28 Mei 2025 dari sumber terpercaya seperti Alert5 dan Asia Pacific Defense Journal telah mendapatkan konfirmasi lebih lanjut melalui rencana pengumuman resmi di pameran Indo Defence Expo pada Juni 2025, menandai langkah strategis yang serius. Informasi terkait skema pembiayaan yang menggunakan ekspor komoditas sejalan dengan model pendanaan yang sudah diterapkan dalam proyek besar lain seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, seperti yang diungkap oleh Intelligence Online, menambah kredibilitas rencana ini. Sementara itu, meski Kepala Staf Angkatan Udara (KASAU) Marsekal Mohamad Tonny Harjono belum memberikan konfirmasi langsung terkait pembelian ini, pengalaman dan pandangannya yang terbentuk sejak insiden Bawean 2003 menunjukkan pemahaman mendalam akan kebutuhan memperkuat kemampuan udara mandiri sebagai bagian dari strategi pertahanan nasional.
Pembelian 42 unit jet tempur J-10C akan secara signifikan meningkatkan kekuatan udara Indonesia dengan menambah dua skuadron di Lanud Iswahyudi dan Pekanbaru, sehingga kesiapan operasional armada tempur naik dari 33% menjadi sekitar 75%, memperkuat kemampuan pertahanan udara nasional secara nyata. Namun, langkah ini juga membawa risiko seperti ketergantungan pada teknologi China yang bisa membatasi fleksibilitas strategis, potensi ketidaksesuaian dengan sistem komando dan kontrol TNI AU yang berbasis standar NATO, serta tantangan politik domestik terkait penggunaan pesawat bekas. Jika proses integrasi dan pemeliharaan berjalan lancar, J-10C diproyeksikan menjadi tulang punggung kekuatan udara Indonesia untuk periode 2025 hingga 2040, dengan peluang penambahan 24 unit lagi serta kemungkinan kerja sama produksi dan pemeliharaan bersama negara-negara regional seperti Pakistan dan Thailand, yang akan semakin memperkuat posisi Indonesia di kancah pertahanan kawasan.