Uji coba jet tempur yang diduga J-35 dari kapal induk Liaoning memiliki dampak besar terhadap pengembangan kekuatan militer China, terutama dalam hal dominasi udara berbasis kapal induk. Dari perspektif hukum internasional dan perjanjian global, tindakan ini harus dianalisis melalui kerangka hukum yang mengatur aktivitas militer, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) serta perjanjian bilateral dan multilateral yang berkaitan dengan keamanan regional.
Dalam konteks UNCLOS, khususnya Pasal 87, China memiliki hak untuk mengoperasikan kapal induk di perairan internasional berdasarkan prinsip kebebasan navigasi. Pasal ini mencakup kebebasan navigasi, pelayaran, pemasangan kabel dan pipa bawah laut, pembangunan pulau buatan, serta riset ilmiah. Dalam ranah militer, pengoperasian jet tempur dari kapal induk termasuk dalam kebebasan navigasi yang tidak secara eksplisit dilarang oleh hukum laut internasional.
Perkembangan ini dapat menimbulkan kekhawatiran dari negara-negara tetangga dan aktor global lainnya, seperti Amerika Serikat, terutama mengingat ketegangan yang terus meningkat di Laut China Selatan. China telah memperluas pengaruh militernya melalui kapal induk dan pesawat tempur berbasis kapal induk seperti J-15 dan kemungkinan J-35.Â
Dalam konteks ini, penting untuk menelaah implikasi hukum dari potensi pelanggaran terhadap Pasal 301 UNCLOS, yang menyatakan bahwa negara-negara pihak harus menggunakan laut lepas untuk tujuan damai. Modernisasi militer yang dilakukan oleh China, termasuk pengujian jet tempur berbasis kapal induk yang canggih, dapat dianggap melanggar norma internasional jika tujuannya ditafsirkan sebagai langkah agresif.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan regulasi domestik China terkait militerisasi dan pengembangan teknologi senjata strategis. Amandemen Undang-undang Pertahanan Nasional Republik Rakyat China tahun 2020 memberikan wewenang kepada Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) untuk memperkuat pertahanan nasional melalui modernisasi peralatan tempur.Â
Bab III, Pasal 10, menegaskan bahwa negara akan memperkuat pembangunan pertahanan nasional dan angkatan bersenjata, meningkatkan kemampuan militer, dan melindungi keamanan nasional secara efektif. Hal ini memberikan dasar hukum bagi China untuk terus mengembangkan dan menguji coba pesawat tempur generasi baru seperti J-35.
Pengujian J-35, yang diduga sebagai jet tempur siluman generasi kelima, berpotensi menciptakan ketidakseimbangan militer di kawasan Asia-Pasifik. Secara geopolitik, Amerika Serikat dan sekutunya seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia mungkin menganggap pengembangan ini sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas regional, terutama dalam konteks persaingan antara F-35 AS dan J-35 China. Perjanjian keamanan bilateral seperti Perjanjian Keamanan AS-Jepang (1960) dan Aliansi AS-Korea Selatan juga dapat terpengaruh oleh perkembangan ini, karena meningkatnya kapabilitas China dapat mempercepat peningkatan kerja sama militer di antara negara-negara ini untuk menyeimbangkan kekuatan.
siluman dan operasionalisasi dari kapal induk. Keunggulan J-35 terletak pada kompatibilitasnya dengan kapal induk tanpa ketapel seperti Liaoning dan Shandong, serta kapal induk Fujian yang dilengkapi sistem ketapel elektromagnetik. Hal ini menunjukkan peningkatan fleksibilitas operasional Angkatan Laut China (PLAN). Dalam jangka panjang, kehadiran J-35 akan memperkuat kemampuan proyeksi kekuatan China di kawasan maritim strategis, termasuk Laut China Selatan.
Pengujian jet tempur ini menimbulkan pertanyaan tentang hak-hak negara lain atas wilayah udara di zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan wilayah laut internasional, sebagaimana diatur dalam UNCLOS. Peningkatan operasi militer China di Laut China Selatan, termasuk pengujian jet tempur berbasis kapal induk, dapat dilihat sebagai upaya untuk mengklaim wilayah udara di atas ZEE yang diperebutkan. Pasal 58(1) UNCLOS menyatakan bahwa semua negara memiliki hak kebebasan penerbangan di ZEE, dengan tetap memperhatikan hak-hak ekonomi eksklusif dari negara pesisir.