Insiden yang melibatkan klaim penembakan jet tempur Rafale milik India oleh pesawat J-10C Pakistan menggunakan rudal jarak jauh PL-15E menjadi sorotan utama dalam menilai kapabilitas militer China, khususnya teknologi persenjataannya. Di media sosial, beredar gambar yang menunjukkan puing-puing mesin M88 dan bagian ekor vertikal Rafale dengan nomor seri BS-001 di Punjab, India---yang disebut identik dengan salah satu Rafale India, meski belum ada konfirmasi resmi dari pihak India. Di sisi lain, seorang sumber intelijen dari Prancis menyebut bahwa memang ada satu Rafale yang ditembak jatuh, namun pernyataan ini belum mendapat tanggapan dari pihak Dassault maupun militer Prancis. Pakistan sendiri mengklaim telah menembak lima jet India, termasuk tiga Rafale, dan temuan serpihan rudal PL-15E di lokasi yang sama seolah menguatkan klaim tersebut, walau posisi tepatnya belum diverifikasi. Namun, perdebatan sengit muncul dari media kedua negara yang saling membantah, sementara media internasional justru menyoroti minimnya bukti teknis seperti data radar atau rekaman tempur yang sahih. Alhasil, meskipun ada indikasi kuat bahwa insiden itu benar terjadi, keterbatasan bukti konkret dan bias informasi membuat kebenarannya sulit dipastikan secara mutlak. Bukti fisik memang ada, tapi konteks pertempuran---apakah jet India dalam kondisi siap tempur atau tidak---masih menjadi pertanyaan besar.
Kemampuan udara China, khususnya lewat pesawat J-10C dan rudal PL-15E, kini makin menarik perhatian, terutama setelah dugaan keberhasilannya dalam insiden di Kashmir. Rudal PL-15E versi ekspor punya jangkauan sekitar 145 km---lebih pendek dari versi dalam negerinya yang bisa mencapai 200--300 km---namun tetap lebih unggul dari rudal Meteor milik Rafale. Rudal ini dipadukan dengan radar AESA di J-10C, memungkinkan serangan BVR atau "tembak dari luar jarak pandang" yang efektif. Jet ini juga dilengkapi teknologi elektronik canggih, seperti radar KLJ-10, pod pengacau KG600, serta sistem peperangan elektronik yang diklaim bisa mengacaukan sistem SPECTRA Rafale---walau sejauh ini, keunggulan SPECTRA dalam kemampuan anti-radar masih dianggap sulit ditandingi. Keunggulan J-10C tak hanya di sistem senjatanya, tapi juga pada integrasi dengan jaringan tempur China, termasuk pesawat peringatan dini AWACS dan sistem navigasi satelit BeiDou, yang memperkuat kesadaran situasional pilot di medan perang. Dari sisi sejarah, pesawat ini awalnya meniru desain Lavi dari Israel, tapi kini China sudah mandiri dengan avionik buatan sendiri dan mesin WS-10B. Dalam kategori, J-10C berada di kelas generasi 4.5---setara dengan F-16V atau Rafale---meskipun masih kalah dari Rafale dalam hal pengalaman tempur dan integrasi sistem sensor. Saat ini, J-10C menjadi andalan ekspor China, dengan Pakistan sebagai pengguna utama. Jika performanya terus terbukti, bukan tak mungkin negara-negara seperti Iran atau Myanmar akan ikut melirik. Di sisi lain, meskipun China juga punya jet generasi kelima seperti J-20 dan J-35, J-10C tetap jadi pilihan strategis untuk negara-negara dengan anggaran pertahanan yang lebih terbatas.
Kalau bicara soal perbandingan antara J-10C buatan China dengan standar NATO dan jet tempur Barat, jelas ada banyak sisi menarik yang bisa dibahas---mulai dari sensor, avionik, hingga senjata dan performa di medan tempur. Dari segi radar, J-10C memakai KLJ-10 AESA dengan jangkauan sekitar 170 km, sedikit tertinggal dari Rafale yang mengusung radar Thales RBE2-AA dengan jangkauan lebih dari 200 km, apalagi jika dibandingkan dengan F-35 yang menggunakan radar AN/APG-81 yang jauh lebih mutakhir. Dalam hal sistem peperangan elektronik (EW), Rafale juga masih unggul lewat SPECTRA yang mampu melakukan jamming multispektral secara internal, sementara J-10C masih mengandalkan pod eksternal seperti KG600, yang berarti tingkat integrasinya belum sebaik jet-jet NATO. Untuk urusan rudal, PL-15E buatan China memang punya keunggulan jarak tembak---200 hingga 300 km untuk versi dalam negeri---dan menggunakan motor roket dual-pulse. Ini menjadikannya secara teoritis lebih unggul dari rudal Meteor Rafale (150 km, ramjet) dan AIM-120D Amerika (160 km). Tapi masalahnya, PL-15E belum terbukti dalam pertempuran besar, jadi validitas keunggulannya masih jadi tanda tanya. Soal manuver, J-10C sedikit lebih unggul dengan rasio tenaga terhadap berat 0,95 dibandingkan 0,89 pada F-16V. Namun, F-16V tetap lebih matang dalam hal interoperabilitas dan pengalaman tempur nyata, terutama karena sudah lama menjadi bagian dari sistem tempur NATO. Jadi, meski J-10C terlihat cukup menjanjikan di atas kertas---murah, kompatibel dengan sistem buatan China, dan punya potensi daya gentar---nyatanya ia masih harus mengejar banyak aspek mendasar dari jet-jet Barat yang telah teruji waktu dan perang.
Dalam lanskap geopolitik global yang terus berubah, kehadiran J-10C buatan China mulai menunjukkan dampak nyata, khususnya di pasar senjata internasional yang selama ini didominasi oleh Barat. Beberapa negara di Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab dan Aljazair, kabarnya mulai melirik J-10C sebagai alternatif yang lebih terjangkau dibanding F-35 Amerika atau Rafale Prancis. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kedekatan strategis China dengan Pakistan, di mana sekitar 81% sistem persenjataan Pakistan saat ini berasal dari China---sebuah ketergantungan yang membentuk aliansi militer yang cukup kontras dengan posisi India yang cenderung bergantung pada Rusia dan Prancis. Di sisi lain, dinamika ini juga tercermin dalam pasar keuangan: saham produsen Rafale, Dassault, sempat melemah, sementara Chengdu sebagai pembuat J-10C justru mengalami kenaikan, menandakan pergeseran kepercayaan terhadap kekuatan teknologi militer China. Amerika Serikat dan Uni Eropa tentu tidak tinggal diam, dan responsnya kemungkinan berupa pengetatan ekspor teknologi ke kawasan Indo-Pasifik, terutama India, sebagai bentuk manuver untuk menjaga keseimbangan kekuatan regional.
Insiden yang melibatkan J-10C dan Rafale ini bukan cuma soal siapa yang menjatuhkan siapa di langit, tapi lebih dalam dari itu---ia mencerminkan lonjakan teknologi militer China, terutama di bidang rudal jarak jauh dan sistem peperangan elektronik. Meski begitu, masih ada kelemahan nyata, seperti integrasi sensor dan kemampuan sistem tempur yang belum sehalus standar Barat. Klaim Pakistan sendiri perlu dilihat dengan kacamata kritis, karena konflik India-Pakistan sering dibalut disinformasi, dan bukti di lapangan masih terbatas; bahkan sistem SPECTRA pada Rafale masih dianggap sebagai salah satu teknologi EW terbaik saat ini. Ke depannya, agar benar-benar diakui secara global, China perlu membuktikan performa J-10C di latihan tempur bersama negara-negara netral atau lewat ekspor ke pasar yang lebih objektif. Di sisi lain, NATO tak bisa tinggal diam dan perlu terus memperkuat teknologi rudal jarak jauh serta sistem peperangan elektroniknya. Pada akhirnya, insiden ini adalah gambaran jelas bagaimana peta kekuatan teknologi militer dan geopolitik dunia mulai bergeser, dengan China secara perlahan menantang dominasi Barat lewat kombinasi inovasi cepat dan harga yang bersaing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI