Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkompasiana, Transformasi Diri Menuju Ruang Sehat Rasa dan Logika

4 November 2017   10:22 Diperbarui: 4 November 2017   12:14 1536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; kompasiana.com

Seringkali pada acara tertentu seperti arisan, kondangan atau rapat mereka menanyakan status FB saya, dan minta jadi teman FB. Hadeuuh...terpaksa saya terima. Kekuatiran terbukti, saya sering dapat sindiran saat interaksi di dunia nyata.  Saya menjadi tidak nyaman. Mereka tidak bisa bedakan saya di dumay (FB) dan di dunia nyata. Akhirnya tahun 2011 saya putuskan berhenti main FB. Hampir semua tulisan saya hapus. Saya sisakan beberapa yang bersifat umum.

Tahun 2009-2010 saya jadi pembaca kompasiana.com lewat laman Kompas.com. Masa itu ada kanal "Agama" dan "Politik" yang isinya debat dan saling hujat agama. Kompasianer  terkenal di kanal itu adalah Erianto Anas, Traktor, Iblis, Setan dan beragam nama aneh lainnya. 

Saya heran media sebesar Grup Kompas ada konten "tak pantas" seperti itu. Tapi saya menikmati juga isinya. Ibarat baca stensilan porno, dinikmati karena "ngeri-ngeri sedap". Saya suka pada logika jungkir balik dan satirisme yang ada dalam debat itu. Mereka sangat berani dan nakal. Hahaha!

Awal tahun 2014 saya ditelpon kawan menanyakan kenapa tidak lagi "menulis" di FB. Dia menyarankan saya menulis di Kompasiana.com. Tapi saya tidak mau karena isi kompasiana "kayak gitu". Ngeriiii! Dia katakan bahwa Kompasiana sudah berubah lebih baik. Tidak horor kayak dulu. Hahahaha! Tak lama kemudian saya buka kompasiana, dan benar, isi dan tampilan Kompasiana.com sangat menarik. Sejak saat itu saya (kembali) membaca kompasiana, tapi belum berani membuat akun, apalagi menulis. Saya masih minder karena kompasiana media berskala nasional.

Pada tanggal 16 Pebruari 2014 saya bikin akun Kompasiana. Seminggu kemudian, tepatnya tanggal 23 Pebruari 2014 saya posting tulisan pertama. Judul tulisan "Fenomena Keberuntungan dan Kebuntungan Akil Mochtar".

Pada masa itu lagi ramai kasus Akil Mochtar selaku  ketua MK terkena OTT KPK. Saya pun menulis tentang Akil Mochtar dari aspek humaniora politis. Kebetulan dia satu daerah dengan saya, jadi punya referensi tentang sisi lain Akil Mochtar. 

Tulisan itu saya posting pagi hari sebelum ke kampus. Saat istirahat makan siang ada sms masuk dari teman mengabarkan tulisan saya dapat Headline di kompasiana. Saya tidak terlalu paham soal Headline itu. Saya buka kompasiana,  pembaca tulisan saya sudah 500-an. Yang bikin saya senang bukan Headline-nya, tapi jumlah pembacanya banyak! Hahahahaha!

Tahun 2014 merupakan tahun politik pilpres. Saya pun lebih sering terlibat dalam tulisan politik. Bagi saya tulisan hebat itu kalau jumlah pembacanya ribuan dan ramai dikomentari. Hal itu jadi patokan saya berKompasiana. Saya tidak perduli teknis menulis dan kualitas tulisan, yang penting ramai dan bisa ha..ha..hi..hi dengan sesama Kompasianer sesuai motto kompasiana "Sharing and Connecting". Untuk bisa eksis, cara yang saya tempuh adalah rajin vote dan komen tulisan para Kompasianer terkenal masa itu seperti Ellen Maringka, Pakde Kartono, Gatot Swandito, Elde, Sayeed Al Kaif, Ninoy Karundeng, Pak Tjiptadinata, Daniel HT, Agung Soni, Ira Oemar, dll. 

Mengenal Kompasiana di tahun 2014 membangkitkan kenakalan lama dalam menulis seperti di facebook dulu. Spirit dan gaya berfacebookria ikut terbawa di Kompasiana. Tahun itu merupakan masa saya jatuh cinta pada Kompasiana. Saya tidak tahu apakah Kompasiana juga jatuh cinta pada saya karena sudah kebal mengalami cinta ditolak. Hahahaha!

Saat umur akun masih 7 bulan, masih kategori balita, masih pipis dicelana, belum bisa pasang celana, saya nekat hadir di Kompasianival di TMII. Padahal pada bulan even tersebut saya sedang penelitian di pedalaman Kalimantan, namun karena cinta dan pengen tahu apa itu Kompasiana secara lebih mendalam saya usahakan hadir di Kompasianival. Dari even itu saya jadi tahu dan kenal para Kompasianer seleb. Mata saya terbuka bahwa Kompasiana sebenarnya 'barang serius' lebih dari yang saya duga sebelumnya. Materi acara dan tokoh yang jadi pembicara menjadi bukti Kompasiana sebagai 'barang serius'.

Kompasianival 2014 menjadi awal perubahan cara pandang dan sikap kepenulisan saya dalam berkompasiana. Tak lagi semata hanya ber-hahahihi, namun harus ada "sesuatu" yang bisa menjadi nilai tambah bagi pemikiran dan kepribadian saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun