Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru Masa Kini di Antara Kepungan Berita Radikalisme dan Anti Kebangsaan

4 Mei 2017   08:23 Diperbarui: 4 Mei 2017   10:05 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : http://2.bp.blogspot.com/-0GFWP4ubpsM/Umk9Yf-jwbI/AAAAAAAAAoU/-DW55KNVOk8/s1600/guru-bahasa-indonesia.jpg

Istilah Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) tidak menandakan semata hari Guru, melainkan tentang Pendidikan secara luas. Namun ketika Hardiknas 'dirayakan' maka saat itulah Guru ramai dibicarakan dari berbagai sisi. Mengapa? Karena sejak dulu hingga sekarang Guru merupakan bagian penting dalam terminologi pendidikan tersebut.

Perkembangan jaman khususnya demokrasi dan teknologi informasi telah banyak mengubah situasi pendidikan namun tak mengubah peran penting Guru didalamnya sebagai 'pelaku hidup' yang sentral. Lalu sejauh mana kita bisa memahami ''situasi batin" guru dalam proses pendidikan terhadap perubahan yang mengepung dirinya?

Pada masa orde baru, media sosial (medsos) pun belum ada. Informasi dikendalikan pemerintah yang berkuasa. Demokrasi yang ada adalah versi pemerintah. Guru beserta anak didik dalam kesehariannya mengkonsumsi informasi pemerintah.

Guru jaman sekarang telah menjadi bagian penikmat demokrasi dan informasi (termasuk medsos). Kondisi derasnya informasi itu tak terbatas dialami kalangan guru di kota, namun juga sampai ke daerah dan pedalaman.

[caption caption="sumber gambar ; http://www.satuharapan.com/uploads/pics/news_65144_1474875569.jpg"]

[/caption]

Vulgarnya Panggung Politik Tak Etis 


Saat ini situasi politik negeri dan pemberitaan banyak tersaji gerakan dan aksi kelompok-kelompok yang berpotensi merusak rasa kebangsaan. Fanatisme primodial bernuansa SARA dan kebencian begitu vulgar tersaji. Bukan hanya lewat media mainstream saja tapi juga masuk ke media sosial yang tergenggam di tangan masing-masing, baik para guru maupun anak didik.

Di sisi lain, pemerintah, atas nama demokrasi seolah melakukan pembiaran atau tak mampu berbuat apa-apa. Aksi politis yang brutal dan vulgar jadi tontonan sehari-hari tanpa ada upaya masif penghentiannya. Semua tersaji terang benderang dan dikonsumsi anak didiknya. Sajian itu berpotensi menginisiasi anak didik untuk berpikir "melenceng" dari ideologi negara yang harusnya mereka genggam kuat sejak usia muda.

Fenomena turunan dari pangsung politik tak etis kaum elit politik negeri ini sudah tampak. Sebagai contoh gejala itu sudah terlihat di suatu sekolah dalam peristiwa pemilihan ketua Osis lebih berorientasi pada kandidat yang seagama, bukan pada faktor kepemimpinan, (sumber). Di tingkat perguruan tinggi (IPB) ada kelompok-kelompok mahasiswa yang terang-terangan ingin menjadikan negara 'berdasarkan khilafah', (sumber). Sementara hal itu terjadi,  pihak sekolah dan kampus khususnya pemerintah seolah tak berdaya menghadapinya. Tentu saja hal tersebut sangat berbahaya bagi keberlangsungan NKRI di masa akan datang.

Teori di Sekolah dan Tontonan Keseharian

Disekolah para guru (dengan kurikulum) mengajarkan teori-teori kebangsaan. Patron teladannya adalah para pahlawan nasional. Anak didik dibawa pada romantisme keteladanan tokoh dan perjuangan masa lalu. Sementara dalam kenyataan sehari-hari masa kini-luar sekolah- fenomena aksi anti kebangsaan yang mengarah pada radikalisme begitu vulgar tersaji, semarak dan hidup dipandu banyak patron tokoh hebat yang membawa agenda kelompoknya.

Seringkali peran para tokoh (patron) itu tak jelas apakah mewakili pemerintah/negara atau bukan. Idealisme mereka abu-abu sehingga sulit dijadikan tauladan. Rangkaian aksi, agenda dan eksistensi para tokoh itu berpotensi menggoyahkan pikiran para peserta anak didik pada pemahaman kebangsaan dan bangunan NKRI.

[caption caption="sumber gambar ; http://www.nu.or.id/o-client/nu_or_id/pictures/post/big/1467735557577bde05364e4.jpg"]

[/caption]

Kalau jaman orde baru hal tersebut tidak akan terjadi. Kekuatan (otoriter) pemerintah saat itu  dalam mengendalikan demokrasi dan informasi menjadikan panggung aksi atau agenda radikalisme dan SARA tak akan tersaji. Di sisi lain, pemerintah rajin menampilkan aksi seremonialitas persatuan dan kesatuan dari kemajemukan bangsa dan negara yang menguatkan rasa kebangsaan, sekaligus hal itu jadi bagian upaya pemerintah mengendalikan rakyatnya. Semua itu dilakukan atas nama stabilitas politik dan keamanan guna keberlangsungan pembangunan nasional.

Pada masa itu peran dan tugas guru terhadap para anak didik relatif ringan. Mereka 'hanya' membangun dan meluruskan saja apa yang pemerintah sajikan dipanggung informasi (politiknya). Dan anak didik bisa melihat sendiri di banyak pemberitaan bahwa pemerintah selaku tokoh/patron 'berlaku' sesuai apa yang diajarkan di ruang kelas. .

Aksi di panggung berita politik bernuansa kebencian dan radikalisme bisa menjadi sumber dokrin berbahaya terhadap anak didik. Dokrin itu nyatanya bertentangan dengan yang mereka terima di sekolah. Hal ini merupakan tantangan berat peran guru masa kini yang tidak dialami secara masif guru masa lalu.

[caption caption="sumber gambar : cdn.pixabay.com/photo/2017/01/14"]

[/caption]

Guru masa kini bukan hanya membangun dan meluruskan saja namun terlebih dahulu harus mengidentifikasi-menyeleksi apa yang kiranya diterima anak didik dari beragam berita dan informasi, kemudian diluruskan. Sementara yang tak kalah beratnya adalah mengikis faham keliru yang terlanjur melekat dibenak anak didik. Guru harus mencari atau menemukan contoh, formula atau strategi lain dari kompleksitas kehidupan sehari-hari itu sendiri agar rasa kebangsaan itu ada didalam diri anak didiknya.

Tugas guru menanamkan dan membangun spirit kebangsaan yang kuat sebagai upaya menangkal faham radikalisme dan anti kebangsaan-walau hal itu tak bisa sepenuhnya dibebankan kepada mereka. Peran orang tua, keluarga dan lingkungan sangat dibutuhkan. Namun demikian, peran guru tetap penting dan setral dalam dunia pendidikan (di sekolah). Mereka lah yang paham ilmu pendidikan (pedagogik-pedagogi-andragogik, dll). Mereka memegang kurikulum, strategi pembelajaran, filosofi, pengetahuan, pengalaman dan lain sebagainya untuk membentuk tunas-tunas bangsa harapan negara.

Salam hormat untuk para guru.

____

Peb4/5/2017

Referensi berita ; Satu, Dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun