Filosofi Taoisme mengenal apa yang disebut prinsip unsur-unsur berlawanan. Prinsip ini menginspirasikan nilai-nilai penting demi terwujudnya relasi yang baik dan benar.
Seperti ditulis Sheh Seow Wah dalam bukunya Chinese Wisdom On Life And Management (Asia pac, Singapore, 2018), Taoisme meyakini bahwa semua relasi dan peristiwa di dunia ini dilandasi oleh realitas kombinasi dua unsur yang berlawanan. Di sana senantiasa terdapat unsur Yin yang cair, luwes, lunak, lembut, feminin, dan unsur yang keras, padat, kaku, maskulin. Namun, justru karena sifatnya yang berlawanan itulah mereka mampu mewujudkan kesatuan dinamis.
Pada tatanan relasi antar insan di masyarakat, setiap hari dapat ditemukan berbagai macam manusia dengan ciri kepribadian masing-masing. Berbagai macam ciri kepribadian itu bisa dipandang sebagai hamparan unsur-unsur berlawanan yang selayaknya dihadapi dengan toleransi dan empati, demi sebuah kesatuan dinamis yang kreatif. Kepribadian insan merupakan perwujudan dari 16 pasang sifat berkutub ganda (Rusell M. Karol D 16 PF, Illionis. 2019).
Pengetahuan atas 16 pasang sifat kepribadian itu berguna untuk memperkaya toleransi dan menumbuhkembangkan empati dalam menghadapi beragam sifat dan kepribadian orang.
Dalam kehidupan sehari-hari ada orang yang cenderung suka bergaul dan bersikap hangat terhadap sesamanya, sebaliknya ada pula orang yang cenderung menyendiri dan dingin terhadap sesamanya. Ada pula yang cenderung berpikir konkret sehingga kurang mempu memecahkan masalah, tapi ada yang cenderung berpikir abstrak, sehingga lebih mampu memecahkan masalah. Ada orang yang emosinya cenderung stabil, namun ada pula yang reaktif dan tak stabil emosinya dalam menghadapi berbagai masalah hidup.
 Ada orang yang cenderung memaksakan kehendak, ada pula yang selalu menuruti kehendak orang lain. Ada orang yang cenderung ceria, aktif, berpenampilan mencolok, tapi ada yang cenderung tampil serius, tenang, berpenampilan rapi dan tak mencolok. Ada orang yang cenderung taat pada aturan, kaidah, dan suara nurani, namun ada pula yang tak peduli pada aturan, kaidah dan suara nurani. Ada manusia yang cenderung tampil cukup bebas dan berani di hadapan orang banyak, tapi ada yang malu-nalu jika berada di tempat umum.
Ada orang yang cenderung sensitif, dalam arti lebih banyak memakai pertimbangan selera dan estetika ketimbang memakai asas manfaat dalam menghadapi masalah. Namun, di sisi lain ada orang yang tak peduli pada selera dan estetika, karena ia lebih peduli peda pertimbangan kegunaan. Ada orang yang cenderung waspada dan curiga terhadap sesamanya, tapi di sisi lain ada yang cenderung percaya pada sesamanya.
Ada orang yang tertutup dan suka menyendiri, namun ada pula yang lebih terbuka, tak sulit berbicara tentang diri sendiri secara apa adanya. Ada orang yang cenderung khawatir, merasa tak aman, dan ketakutan. Namun ada yang cenderung percaya diri, tenang dan merasa aman. Ada orang yang cenderung membuka diri terhadap perubahan, sedangkan orang lain cenderung bersikap tradisional, kukuh mempertahankan adat istiadat.
Ada orang yang cenderung bertindak otonom, mandiri, dan tak memerlukan bantuan orang lain. Namun ada yang cenderung lebih suka bekerja bersama orang-orang lain, bekerja dalam tim. Ada orang yang cenderung perfeksionistik, tak gampang menoleransi kesalahan dan ketaksempurnaan. Namun ada yang mau toleran terhadap ketaksempurnaan dan mampu menghadapi kekacauan dengan cara lebih santai.
Itulah gambaran sekilas beragam kepribadian manusia yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran itu bisa memberikan inspirasi untuk menumbuhkembangkan toleransi terhadap perbedaan dan empati atas kekhasan pribadi setiap peserta didik di lingkungan lembaga pendidikan. Setidaknya, ada dua alasan mengapa kita harus menumbuhkembangkan empati dan toleransi di tengah relasi antar peserta didik di lingkungan lembaga pendidikan.