Adamu hanyalah debu menempel di telapak kakinya yang kokoh kekar menopang jagat raya.
Tapi kau sandingkan.
Merangkai kata, menghiasi kemilau bijak para sesepuh sejarah yang terukir dalam kitab-kitab agar melicinkan rasa dan memuluskan nalarmu.
Adamu hanyalah debu melekat di telapak kakinya ketika sekali melangkah dirimu lumat bagai adonan kue.
Tapi kausandingkan.
Kau angkat tinggi-tinggi mulutmu; melambung ke langit kepalamu. Berayun-ayun di atas mimbar, bertengger pada layar kaca karena telah dihiasi mahkota Sang Khalik, selendang Malaikat bahkan memandikan diri dengan ayat-ayat suci lalu menyembur ke segenap jagat buat memandulkan dada, memandulkan politikus dan hati-hati bijak yang tengah memperjuangkan kebenaran.
Adamu hanyalah debu tersangkut di telapak kakinya yang sekali dikibas ragamu terbang melayang hingga lenyap ditelan jagat.
Tapi kausandingkan.
Kaulemparkan mulut dan kepalamu menembusi dada-dada, menembusi rumah ibadah, menembusi lapangan lapang, menembusi rumah makan.
Biar tersedot dalam ambisimu.
Adamu hanyalah debu di telapak kakinya yang berteriak mohon belas kasihan ketika segalanya tenggelam dalam ketakberdayaan.
Kausandingkan dalam kepastikan.
Seteruku membeku, dan lihatlah istanamu dibanjiri massa dengan sorak-sorak serak yang kehilangan jati diri karena berselimut rasa tidak percaya, lalu menggantungkan kepercayaan ke lidahmu.
Adamu hanyalah debu di telapak kakinya.
Masihkah sanggupkah kausandingkan dirimu ketika sirna kekuatanmu, membujur tanpa daya, menggerogoti kebohongan yang telanjur membengkak menahun dalam hasrat memeluk gunungmu?
Adamu hanyalah debu.
Debu yang mestinya mendendangkan pax et bonum, damai dan kebaikan agar kakinya maha segala menyuburkan hidupmu.
 (Jakarta, 20/3/2019)