Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Silang Sengkarut Pendidikan, Cimarga Contohnya

15 Oktober 2025   18:31 Diperbarui: 15 Oktober 2025   18:31 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang SMAN 1 Cimarga: Tribunnews.com


Belajar dari Kasus SMA 1 Cimarga


Kisah anak merokok yang membuat naik pita mini sebenarnya pastinya dialami semua guru dan kepala sekolah. Suatu hari sepulang mengajar, di dalam angkot yang tidak terlalu penuh, hanya ada anak-anak SMP kelas IX, kalau tidak salah ada lima atau enam anak, cowok, semua merokok. Anak SMP, ada yang merokok tembakau, ada yang vape, ada satu anak dua tangan terselip dua batang rokok, kanan kiri.


Melihat tampang mereka, maaf, hanya satu yang memiliki muka sehat, lainnya, kurus, dan lingkar kepala sangat kecil, mata juga terlihat tidak sehat, asumsi juga mengenai kecerdasan keknya di bawah standar. Gedek melihat cara mereka bercengkerama, merokok, dan duduk di dalam angkutan umum. Tapi mau apalagi, itu di luar jam sekolah, meskipun mengenakan seragam.
Biasa saja mengambil rokok dari dalam tasnya. Jadi kepikiran, tidak ada lagi Razia di sekolah dengan adanya rokok, vape mereka biasa banget. Kelihatan di rumah juga sudah biasa, tidak ada lagi sosok yang disegani anak-anak ini.


Wibawa Guru dan Orang Tua
Miris, saat ini terutama guru sudah kehilangan wibawa. Pelaporan polisi, yang akan berujung pada pencopotan jabatan, membuat guru memilih mendiamkan, jarke wae, sak karepe. Terbukti makin banyak anak sudah kelas atas, namun kemampuan sangat jauh di bawah yang seharusnya mereka miliki. Ingat anak SMP banyak yang belum bisa membaca dan menulis dengan baik. Ini fakta, yang tidak percaya silakan kalau ketemu anak sekolah dicek.


Mengapa terjadi? Guru sekarang enggan berurusan dengan dinas, apalagi jika sampai polisi. Ribet, boros, dan bisa-bisa kehilangan pekerjaan. Anak tidak bisa apa-apa yang biar saja, apalagi ada aturan harus naik. Perilaku, tidak lagi menjadi penilaian untuk bisa naik atau tidak. Keberadaan guru sekadar mengajar, bukan lagi mendidik.


UU ngawur yang berlaku membuat keadaan makin susah. Humanisme itu bukan juga membuat anak keras dan besar kepala. Anak difasilitasi dan Merdeka dalam belajar itu benar, namun perilakunya juga harus baik.


Orang tua sekarang juga tidak memiliki wibawa. Mengarahkan anak tidak bisa, apalagi mengatur. Jauh lebih banyak anak yang tidak diasuh di rumah. Nanti, kalau guru atau pihak sekolah mendidiknya, mereka meradang. Padahal mereka ini sebenarnya malu dan merasa  gagal dan mengalihkan itu pada pihak sekolah.


Kekerasan Sebuah Reaksi atau Kebiasaan
Kepala Sekolah SMA 1 Cimarga dicopot oleh pimpinan daerah. Sangat disayangkan, benar ia telah melakukan kesalahan dalam mendidik. Namun, apakah ini kesalahan yang besar, atau kekhilafan semata. Ingat, mana ada sih orang tua yang tidak jengkel atau masih bisa senyum-senyum melihat perilaku murid atau anaknya di luar pemikirannya? Atau adakah orang tua yang belum pernah sekalipun melakukan kekerasan pada anaknya. Pastinya ada orang tua yang memang sangat sabar.


Jika itu perilaku yang terus berulang, atau satu-satunya cara yang bisa guru atau kepsek itu lakukan, dikit-dikit gampar, kaplok, tendang, boleh deh dicopot. Nah, kalau baru sekali, alasannya juga cukup kuat. Kenakalan yang tidak bisa dikatakan wajar, merokok di sekolah.


Guru Harus Sempurna
Melihat perilaku ugal-ugalan banyak pihak saat ini, orang tua murid, anak sekolah, polisi, dinas, pemerintah daerah, kog seoah guru itu robot yang tidak punya emosi atau perasaan. Menghadapi anak luar biasa untuk diatur, hanya disuruh sabar, mengerti, atau memahami, sebagaimana kata wagub Banten.


Coba dibalik, atau berganti peran, saat menjadi guru, sebulan saja. Jamin stress tujuh tanjakan. Jangan dianggap sepele, menghadapi anak-anak sekarang.


Media sosial juga tidak banyak membantu untuk lebih memudahkan pendidikan.  Jauh lebih merepotkan bagi pendidik dan dunia pendidikan secara umum. Seolah dianggap sepele, ini adalah masalah bangsa. Generasi muda yang tidak boleh dididik, sekadar diajar, bisa jadi pengetahuan bagus, namun kepribadian dan perilaku, jauh dari harapan. Padahal pengetahuan dasar, seperti hitungan-hitungan dasar, membaca, menulis banyak yang masih sangat memprihatinkan. Nanti dipaksa untuk bisa, jadi ribut, polisi, melanggar HAM.


Pendidikan itu sekarang sedang krisis multi dimensi, namun dinilai seolah baik-baik saja, tidak ada persoalan, semua berjalan sebagaimana mestinya. Sama sekali tidak demikian. Elit, pihak Kementerian dan jajaran sekadar sibuk dengan istilah dan anggaran. Padahal di lapangan begitu berjibun persoalan.


Rebutan murid di tahun baru
. Masalah adalah monetasi dengan adanya dana BOS. Pengelolaan uang yang bergantu jumlah murid, membuat sekolah berlomba-lomba menarik minat calon orang tua murid dan calon murid. Tidak perlu heran jika ada satu desa dengan dua atau tiga sekolah dasar, ada yang muridnya sangat sedikit, namun sekolah lain sampai paralel.  Tiap tahun ajaran baru selalu terdengar adanya sekolah tutup, murid hanya satu, atau kekurangan murid. Tanpa ada pembenahan. Hanya dikira suksesnya KB, padahal bukan.


MBG. Masalah baru, yang sejatinya bukan dari dunia pendidikan.  Sekolah terimbas dengan program premature dengan dana superjumbo ini. Menambah masalah, bukan mengurai atau mengurangi persoalan di sekolah.


Sertifikasi guru, maunya menyejahterakan guru, namun dalam pengurusan, sangat menyita waktu, sehingga sering kelas itu terbengkalai. Jam pelajaran kosong karena gurunya sedang mengerjakan administrasi demi cairnya uang tunjangan sertifikasi profesi.
Perbedaan mutu Pendidikan. Jangan bicara nasional, daerah pinggiran dengan kota saja sudah njomplang. Selama ini mana ada yang peduli, pokoknya pendidikan ya begitu itu. Apalagi jika bicara Jawa dan luar Jawa, sangat jauh ketimpangan itu.


Keberadaan guru yang lemah, panjang lebar sudah dibahas di atas. UU tidak melindungi guru, malah seolah menjadi bumper bagi murid yang tidak bisa diatur. Terlalu berat bagi guru menghadapi tekanan itu.


Politisasi dan ideologisasi sekolah dan pendidikan.  Politik masuk sekolah, contoh dana BOS yang membuat sekolah rebutan, belum lagi jika bicara mengenai timses atau afiliasi politik. Ideologi pun demikian, merisaukan.


Logika berpikir itu berdasarkan pendidikan. Lihat saja begitu banyak masalah karena pemimpinnya sama sekali tidak logis. Mana ada keracunan makanan hanya karena sendok, belum terbiasa, atau membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hal-hal demikian menjadi gejala sangat umum dalam bernegara kita.


Negara ini sangat besar, jangan sampai karena keinginan pihak-pihak tertentu untuk menguasai, dengan cara merusak pendidikan. Kesadaran menjadi penting, untuk bebenah. Salah ya salah, jangan dibenarkan dengan membentuk opini.


Terima kasih dan salam
Susyharyawan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun