Kelima. Eforia lepas dari masa otoriter membuat gamang penegakan hukum untuk mampu bersikap tegas. Plus ketidaktaatan atas azas dan komitmen. Suap menyuap makin subur era postorba. Orang bisa seenaknya sendiri mengutip uang dan materi demi keuntungan sendiri.
Pola ini juga dipakai siapa saja untuk mendapatkan keuntungan. Materialisme yang menjadi tujuan, termasuk menjual aset negara, dalam hal ini data rahasia. Apa bedanya dengan menjual tambang, hutan, dan sebagainya. Negara miskin, elit yang biasa maling kaya raya. Ini bukan rahasia lagi bukan?
Keenam.  Terlalu ribut namun miskin gagasan, ide, dan terobosan untuk menemukan solusi atas masalah. Terlalu banyak    omong namun tanpa isi. Berbuih-buih tanpa makna apapun. Lihat saja pengamat, ahli ini dan itu hanya bicara ini dan itu tanpa memberikan gambarang sebuah peluang solusi atau pemecahannya.
Ketujuh. Terlalu asing menjadi rujukan. Dikit-dikit beli, import, padahal anak negeri ini tidak kalah  canggih. Tetapi tidak diberikan kesempatan untuk berkembang lebih baik lagi. Elitnya hanya mencari fee tanpa peduli negara hancur karenanya. Ini semua juga paham seperti apa negara dikelola.
Kedelapan. Miskin riset dan malah kreatifitas berujung bui. Terlalu mikir surga dan neraka, riset terlupa. Mirisnya kreatifitas yang ada cenderung melanggar hukum, pidana, dan memang kreatifitas minir.
Ruang kreatifitas tidak ada. kesempatan untuk menuangkan gagasan, ide, dan sikap kreatif mandeg. Pendidikan memegang peran penting. Selama ini memang mandeg dan seolah dianggap baik-baik saja.
Saatnya berkolaborasi, bekerja sama, bukan malah hanya mengedepankan egosektoral keakuan pribadi, lembaga, dan kedinasan. Semua demi bangsa dan negara.
Penataan birokrasi profesional bukan karena kepentingan politik makin kut digencarkan, apalagi MenPanRB baru. Layak digenjot pembenahan birokrasi yang efektif dan efisien.
Waktunya bicara solusi bukan hanya konfrontasi. Negara ini jauh lebih penting dan besar dari sekadar petualang dan makelar demi uang semata. Miris.
Terima kasih Â
Â