Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bjorka, Kominfo, BSSN, DPR, dan Solusi

15 September 2022   20:07 Diperbarui: 15 September 2022   20:08 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bjorka, Kominfo, BSSN, DPR, dan Solusi

Narasi kebocoran data menyasar ke mana-mana. Terbaru kepolisian juga terseret, ketika menangkap seorang pemuda yang ditengarai sebagai pelaku peretasan.  Saling tuding, saling lempar tanggung jawab, dan merasa tidak lebih bertanggung jawab.

Publik hanya menyalahkan dan tidak memberikan dukungan, malah seolah si peretas adalah pahlawan baru. Cukup  aneh, ketika pelaku kejahatan malah dianggap sebagai pejuang atau pahlawan. Padahal tidak demikian.

Beberapa hal layak dijadikan pembelajaran bersama sebagai sebuah bangsa. Ini adalah pengalaman mahal yang harus menjadi perhatian bersama, bukan malah caci maki dan saling tuding ke mana-mana yang tidak jelas.

Pertama, negeri ini terlalu riuh rendah, ribet, dan ribut soal politik. Semua hal berkaitan dengan politik dan berkutat hanya masalah kekuasaan. Bagaimana kebocoran data, namun menyasar pemecatan Johnny Plate seorang. Padahal ini adalah gawe begitu banyak lembaga negara lain. Mahfud MD mengatakan BIN dan kepolisian telah mengetahui siapa di balik akun Bjorka.

Kedua. Bjorka baik secara langsung atau tidak, telah mempertontonkan betapa lemahnya sistem  informatika kita. Digitalisasi yang masif, namun belum didukung mengenai sisi keamanan yang mumpuni.

Ini adalah sisi mata uang yang akan selalu demikian. Amerika Serikat sebagai negara maju saja juga masih kerepotan menghadapi ulah peretas.  Sejatinya  hampir semua negara menghadapi masalah yang sangat umum ini.

Ketiga, memperlihatkan bahwa banyak pegawai yang tidak profesional di bidangnya.  Suka atau tidak, ASN sering memang tidak siap kerja pada bidangnya. Hal yang dicontohkan anggota dewan yang demi membenarkan diri tidak profesional perlu staf ahli hingga lima orang. Ini lagi-lagi beban negara.

Terlihat gagap dalam menanggapi kejadian, birokrat kita memang payah. Apalagi seperti poin di atas terlalu politis. Timses menjadi bagian birokrasi. Akan seperti apa perilaku bekerjanya? Ya jelas saja tidak bisa bekerja. Lagi-lagi beban negara.

Keempat, dewan merasa paling benar, padahal mereka lupa, lelet bahkan maaf bodoh menyikapi RUU PDP. Sebulan ke depan sampai sekian lama belum juga menjadi UU. Ada kejadian mereka seolah pahlawan pelindung rakyat.  Padahal hanya berkutat pada kepentingan mereka sendiri.

Kelima. Eforia lepas dari masa otoriter membuat gamang penegakan hukum untuk mampu bersikap tegas. Plus ketidaktaatan atas azas dan komitmen. Suap menyuap makin subur era postorba. Orang bisa seenaknya sendiri mengutip uang dan materi demi keuntungan sendiri.

Pola ini juga dipakai siapa saja untuk mendapatkan keuntungan. Materialisme yang menjadi tujuan, termasuk menjual aset negara, dalam hal ini data rahasia. Apa bedanya dengan menjual tambang, hutan, dan sebagainya. Negara miskin, elit yang biasa maling kaya raya. Ini bukan rahasia lagi bukan?

Keenam.  Terlalu ribut namun miskin gagasan, ide, dan terobosan untuk menemukan solusi atas masalah. Terlalu banyak       omong namun tanpa isi. Berbuih-buih tanpa makna apapun. Lihat saja pengamat, ahli ini dan itu hanya bicara ini dan itu tanpa memberikan gambarang sebuah peluang solusi atau pemecahannya.

Ketujuh. Terlalu asing menjadi rujukan. Dikit-dikit beli, import, padahal anak negeri ini tidak kalah  canggih. Tetapi tidak diberikan kesempatan untuk berkembang lebih baik lagi. Elitnya hanya mencari fee tanpa peduli negara hancur karenanya. Ini semua juga paham seperti apa negara dikelola.

Kedelapan. Miskin riset dan malah kreatifitas berujung bui. Terlalu mikir surga dan neraka, riset terlupa. Mirisnya kreatifitas yang ada cenderung melanggar hukum, pidana, dan memang kreatifitas minir.

Ruang kreatifitas tidak ada. kesempatan untuk menuangkan gagasan, ide, dan sikap kreatif mandeg. Pendidikan memegang peran penting. Selama ini memang mandeg dan seolah dianggap baik-baik saja.

Saatnya berkolaborasi, bekerja sama, bukan malah hanya mengedepankan egosektoral keakuan pribadi, lembaga, dan kedinasan. Semua demi bangsa dan negara.

Penataan birokrasi profesional bukan karena kepentingan politik makin kut digencarkan, apalagi MenPanRB baru. Layak digenjot pembenahan birokrasi yang efektif dan efisien.

Waktunya bicara solusi bukan hanya konfrontasi. Negara ini jauh lebih penting dan besar dari sekadar petualang dan makelar demi uang semata. Miris.

Terima kasih  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun