Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gibran, Cak Imin, Pilkada DKI, dan Parpol Gagal Kaderisasi

29 Maret 2021   21:26 Diperbarui: 29 Maret 2021   21:26 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gibran, Cak Imin, Pilkada DKI, dan Parpol Gagal Kaderisasi

Elit parpol mendadak ramai-ramai nyambangin Gibran. Ada Cak Imin, bos Gelora, dan dari PAN. Mereka satu suara soal mengusung Gibran di pilkada serentak 24 untuk pilkada DKI. Fahri Hamzah mewakili partai baru, ternyata senada dengan para pemain lama.

PAN dan PKB memang pemain kawakan yang biasa menggunakan kader dan simpatisan artis, pesohor, demi mendapatkan suara. Mereka ini tetap  bertahan, meskipun tidak juga berkembang. Kini, mereka melirik Gibran yang merupakan rising star.  Apakah demikian?

Beberapa hal layak dicermati.

Gibran ini masih sebatas potensial. Belum menjadi aktual. Benar bahwa tanda-tanda, rekam jejak itu sudah tampak. Namun toh belum teruji sepenuhnya. Masih baru saja dilantik. Beberapa tayangan itu kan masih sebatas adab, perilaku, bukan kinerja, dan prestasi kerja. Tentu ini bukan soal suka atau tidak, mendukung atau tidak, namun biarkanlah bertumbuh dan berkembang alamiah.

Membawa beras di mobil dinas, memilih mobil dinas relatif sederhana, menghantar dan menyambut tamu dengan santu, itu semua ranah etis, bukan prestasi dan kinerja moncer sebagai walikota. Iya, ia santun, tetapi belum  teruji sebagai pemimpin yang berkarya dengan gilang gemilang.

Sudah menunjukkan kegesitan dalam melihat masalah di lapangan. Itu semua belum menunjukkan keseluruhan kemampuannya dengan semestinya. Masih jauh dan terlalu dini. Berbeda dengan sang bapak, ketika sudah lebih dari satu periode. Ini satu semester saja belum.

Biarkan Gibran apa adanya, masih cukup muda, pengalaman menjadi walikota akan mematangkannya dengan alamiah. Relasi dengan masyarakat sangat mungkin baik-baik saja. Pengusaha bisa diperkirakan tidak soal karena dunianya. Tetapi permainan, trik, intrik politik, dewan, apa mungkin ia bisa segesit dan selincah Jokowi.

Tantangan berat bagi walikota Solo ini, karena ia juga menyandang "warisan" Jokowi. Bagaimana ia sudah mulai menjadi sasaran tembak. Sebelum dilantik sudah dikaitkan dengan isu korupsi bansos. Eh kini, baru juga sebulan, sudah menjadi sasaran Rizal Ramli, konon duduk di meja, padahal Menteri PUPR duduk di bangku.

Masih level walikota saja sudah demikian banyak "penyerang" apalagi kalau gubernur, DKI lagi. Apakah akan mampu bersikap tenang, santai, dan tetap melaju dalam trek ketika ia masih muda seperti itu?

Orang-orang politik mana mau tahu dengan keadaan  "incarannya" mereka pokok  menang, kuasa, tidak akan mau peduli dengan kesulitan yang di hadapi  si pejabat, lihat  bagaimana Jokowi selama ini berjibaku sendirian menghadapi serangan para rival politiknya.

PAN, PKB, dan sangat mungkin Gelora juga sama saja. Suka melihat orang potensial, tertarik dan kemudian ditarik. Tetapi mengenai kesulitan bahkan juga serbuan mana mereka mau tahu. Selama ini tidak terdengar mereka "membela" pilihan mereka kog. Sikap rival politik dibiarkan begitu saja.

Mana sikap PKB yang membentengi Jokowi? Tidak ada sama sekali. Pun ketiga partai ini juga diam seribu bahasa kog ketika Gibran dijadikan sasaran oleh media dan kini bekas menteri.

Partai politik hanya mau enaknya dan enggan ikut menerima susah. Jika partai mau susah payah, mereka akan mendidik kader mereka seperti mereka menilai dan melihat Gibran. Jika demikian, akan banyak kader, pemimpin muda, dan tidak akan krisis pemimpin.

Partai maunya potong kompas, tabiat instan, hanya mau enaknya tanpa mau susahnya. Buat apa jenjang "karir" dalam partai jika model comot kader partai lain atau tokoh populer, asal  dipilih saja?

Persoalan klasik parpol. Mereka enggak berinvestasi, maunya panen saja. Hal yang hampir terjadi dalam banyak kehidupan berbangsa di negeri ini. Potong kompas, tabiat instan, maunya enak, enggan kerja keras.

Jangan heran, ketika lebih suka membaca judul, membagikan, tanpa mau membaca isinya. Ini sama dengan apa yang para politikus lakukan. Kalau tidak disadari dan dibenahi ini bisa sangat kronis dan berbahaya.  Mengerikan apa yang bisa terjadi.

Orang bisa menjadi patah semangat, karena sudah mencoba untuk meniti jenjang kaderisasi, kemudian ditendang bisa karena uang atau popularitas.  Risiko demokrasi, apalagi masih dalam taraf belajar dan coba-coba yang memang seperti ini.

Suka atau tidak, masalah ada di  partai politik memang. Padahal hampir semua hal, pejabat apapun  melalui mekanisme politis, partai menjadi penentu.

Bagaimana sapu kotor susah untuk diharapkan menghasilkan lantai yang bersih. Mesin yang bobrok, bisa berjalan, tetapi terseok.  Entah bagaimana cara memperbaiki model partai potong kompas demikian.

Penyederhanaan partai menjadi sebuah solusi mengatasi permainan partai yang model potong kompas.  Pembelajaran politik  yang sungguh-sungguh. Orientasi partai bukan semata soal kursi dan menang saja.

Kalah pun tidak siap. Organisasi harus dibangun secara modern, bukan begini-begini saja terus. Bangsa lain sudah berorientasi ke mana-mana, eh kita hanya berkutat pokok e menang  pilkada, pilpres, abai soal proses.

Iiwa kanak-kanak yang masih dominan. Main, mau enak, tidak mau susah itu khas bocah. Masih perlu waktu dan proses untuk mendewasakan sikap berpolitik. Salah satunya siap kalah kalau mau menang.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun