Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Prabowo Gagal?

23 Juni 2020   19:10 Diperbarui: 23 Juni 2020   19:20 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Prabowo Gagal?

Cukup menarik apa yang ASI rilis sebagai hasil sebuah survey. Artikel ini tidak hendak mengupas benar atau salah survey itu, sama sekali tidak kompeten, hanya mau melihat, mengapa Eddy Prabowo mendapatkan posisi buncit.  Apa yang menjadi jawaban warga itu adalah hal yang layak diterima dengan lapang dada. Demikian Menteri KKP ini pun dengan legawa meminta maaf. Wajar dan bagus.

Hal ini bukan semata karena kapasitas Prabowo sebagai pribadi, kader partai, ataupun seorang menteri. Pun tidak karena asal partai politik Gerindra yang setengah hati. Pandangan soal banyak hal toh akan sama jua  ujungnya. Bagaimana tidak, ini sama juga orang suka, cinta pada si A, itu bukan berarti benci si B. Tidak demikian. Warga masyarakat itu sudah lekat KKP ya Susi Pudjiastuti. Titik. Artinya bukan soal benci atau tidak suka pada Prabowo.

Susi Pudjiastui itu simbol dalam banyak hal dari warga masyarakat. Bagaimana ia adalah lambang bahwa pendidikan bukan menjadi penghalang menjadi seseorang  itu sukses. Perjuangan dan etos kerja jauh lebih penting. Pembuktiannya menjadi jaminan bagaimana ia telah membat dunia terhenyak.

Menteri yang konsisten dengan tenggelamkan ini memang tidak kenal takut dan mundur. Hal yang wajar dalam berpolitik ini menjadi masalah. Lagi-lagi bagi masyarakat ini adalah simbol orang nonpartai yang bisa konsisten dan tegas. Susah ditemui pada para menteri dan pejabat dari partai politik.

Profesionalitas menjadi pembeda. Bagaimana perjalanan Susi sebagai pelaku usaha kelautan tahu benar kesulitan, hambatan, dan peluang yang perlu dijadikan prioritas. Terobosannya mengena bahkn dunia ikut memuji. Nah ini pun belum tentu cocok bagi birokrasi dan orang politik. Cukup wajar ketika banyakorang kecewa ketika ia terdepak dari kursi KKP.

Politik itu bukan bicara ranah ideal. Kompromi-kompromi, dan itu kadang juga menyingkirkan orang ideal, baik, dan berkompeten. Hal yang harus dipahami dengan baik dan penuh kesadaran. Jangan melo ketika berbicara politik. Konsekuensi logis. Lihat tuh Amrik saja kacau karena Donald Trump bukan Hillary Clinton yang menjadi presiden. Toh mereka menyadari itu. Politik ya politik, suka atau tidak.

Apapun yang dilakukan Prabowo tidak akan bisa memuaskan massa. Mengapa? Ya karena persepi publik sudah lekat dengan model Susi Pudjiastuti yang tangguh dan berbeda itu. Apapun Prabowo lakukan tidak akan ada yang bisa mampu menyenangkan publik. Penenggelaman misalnya tetap dilakukan, akan tetap dinilai sebagai hanya meneruskan, mengekor.

Kebetulan kebijakannya pun cenderung berlawanan dengan apa yang pendahulu lakukan. Apakah alasan yang melatarbelakangi itu semua, tidak publik tahu apalagi pahami. Lagi-lagi ini politik. Toh syukur bahwa itu adalah Prabowo.

Coba bayangkan jika itu adalah Fadli Zon, bagaimana reaksinya ketika mendapatkan rapor pada posisi buncit. Piihan dari Prabowo dan Jokowi sangat pas dan tepat. Mau meminta maaf atas penilaian itu. Jelas kondisi yang tidak mudah. Ini identik dengan Jakarta dengan Ahok dan penggantinya. Siapapun akan menilai dan membandingkan dengan pendahulunya.

Kondisi yang sangat berat, coba jika ia seperti politikus lainnya yang arogan dan merasa benar dan baik-baik saja. Kisruh, gaduh, dan  jelas kontraproduktif di tengah pandemi seperti ini. Semua ada  hikmah yang bermanfaat bagi nusa dan bangsa.

Pilihan sulit juga, coba jika Gerindra masih di luar pemerintahan. Keadaan pandemi dengan narasi oposan seperti selama ini tambah riuh tak berguna. Identik dengan prapengumuman, dan menjelang pengumuman kabinet. Negara tegang, kekacauan demi kekacauan timbul, dan itu jelas merugikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Apa yang terjadi itu pembelajaran bersama. Kedewasaan menjadi kaca kunci yang penting. Demokrasi membawa konsekuensi dan nilai-nilai yang harus dijadikan rujukan bersama. Jangan hanya berbicara pemilu ketika mengatakan demokrasi, namun juga menerima keadaan pemerintah, pilihan politik dan keadaan yang akan banyak kompromi.

Warga itu masih sentimentil, melo, dan mengangankan negara yang ideal, semua profesional, dan seolah bim salabim selesai dengan baik. Ekonomi kuat, negara aman, dan rakyat bebas sesukanya, pejabat juga diam tanpa ada riak dan gejolak berarti.

Jangan lupa puluhan tahun tatana  hidup  bersama itu kacau balau. Memang bisa kini parpol untuk menyingkir dan hanya profesional yang menjadi menteri dan kabinet? Susah. Kenyataannya profesional pun tidak kalah ngaconya dengan politikus. Ini keadaan yang harus dihadapi dan diterima.

Masih perlu proses untuk menjadi negara yang lebih ideal. Toh warga juga belajar, pemerintah, partai politik pun perlu bebenah untuk menuju keadaan itu. Siapa yang negara dan bangsa ini maju, modern, dan disegani sih? Semua mau dan tentu saja perlu waktu untuk itu. Menuju ke sana itu kserja keras bukan hanya gede omong dan bisa terjadi demikian.

Kondisi-kondisi tidak ideal harus diterima dulu dengan rela hati. Pembenahan di sana sini perlu dan segera dilakukan. Gejolak diminimalisasi demi  capaian itu. sangat susah karena kekacauan demi kekacauan itu tercipta karena banyaknya kepentingan yang harus diubah.

Terima kasih dan salam

Susyharyawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun