Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemakzulan dan Hukum ala Netizen

6 Juni 2020   11:52 Diperbarui: 6 Juni 2020   11:54 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemakzulan dan Hukum ala Netizen

Riuh rendah wacana ataupun aksi, tekanan untuk melakukan pemakzulan presiden masih cukup ramai. Presiden dan pemerintah tetap bekerja, rakyat yang masih "nganggur" di rumah brisik bela sana, tuding sini, dan ada pula yang muak dan jengkel karena itu lagi itu lagi, baik pelaku ataupun temanya.

Gak jauh-jauh, mulai 2014 kog begitu terus. Apa yo gak capek, apa gak ada kerjaan lain, lha yang dikeroyok lho tetap saja kerja. Yang melakukan katanya kritik juga tambah kencang karena ikatan pinggangnya makin mencekik. Pelakunya tidak jauh-jauh juga, malah nambah dari orang yang pernah dapat keenakan kemudian terpinggirkan. Lha dalah, ribetmen urip e.

Memang hukum tidak ada yang dilanggar dengan model seminar, pembicaraan, dan diskusi soal impeachment presiden. Toh itu  langkah yang masih sangat jauh dari sebuah penggulingan kursi presiden. Beda era dan  cara penjatuhan ala, maaf almarhum Gus Dur.

Aneh dan lucu ketika pentolan FPI mendorong MPR untuk melengserkan presiden. menyedihkannya adalah alasan yang dikemukakan. Jika mengurus negara gagal itu sih masih lah waras. Lha ini soal haji, masalah penundaan haji itu tergantung Kerajaan Saudi Arabia. Lha mau ibadah di mana jika presiden tetap memaksakan haji tetap ada, Monas?

Kemarin ada dua kubu yang menyatakan bahwa akan ada empat kelompok yang potensial mengagendakan penggulingan kekuasaan, mau namanya pemakzulan, impeachment, atau makar terserah. Itu dari sisi oposan. Sangat logis dengan alasan dan data yang cukup menunjang. Sangat bisa diterima akal sehat dan akal normal.

Ada pula di waktu yang berdekatan, konon dari sisi dalam istana juga "ada" gerakan untuk menggulingkan presiden, ala Gus Dur yang lalu. Cukup susah, meskipun sangat mungkin, bisa saja terjadi. Namanya politik itu bisa apa saja. Namanya kawan dan lawan dalam politik siapa yang tahu.

Kudeta, jauh lebih kecil lagi, melihat sepak terjang militer yang jauh dari perilaku politik praktis dalam kawalan Panglima Hadi yang masih normal-normal saja. Kepala Staf angkatan pun terlihat bagaimana kiprah mereka. Berbeda jika beberapa saat lalu, yang memang sangat kentara bagaimana elit militer itu molitik. Itu bukan eranya lagi.

Ada sebuah pernyataan, bagaimana kejahatan itu bukan semata karena banyaknya penjahat, namun diamnya orang baik melihat itu semua. Sepakat dengan paham itu, namun bagaimana memaksa orang baik itu juga tidak bisa. Ternyata tidak demikian. Ketika sudah mentok, yang diam itu juga bisa bersikap. Sama juga dengan semput kalau terinjak juga akan menggigit.

Bagaimana  sejarah kita berkali ulang menjawab itu. Kondisi 98 yang sepanjang 32 tahun hidup dalam bayang-bayang diktator, pemimpin korup, dan selalu ditakut-takuti dengan napol dan komunis, toh tumbang juga. Siapa yang menyangka Pak Harto bisa tumbang. Bagi yang lahir paling lambat 80-an akan tahu bagaimana kondisi saat itu kehidupan itu.

Pilpres 2019  pun sebenarnya identik. Berbagai pihak mengatakan Prabowo akan menang karena begitu masifnya pemberitaan, apalagi dunia medsos yang begitu gegap gempita untuk menyuarakan Prabowo. Pendekatan yang pernah mengantarkan kemenangan untuk DKI 2017 dengan orang dan tim yang relatif sama.

Pada posisi lain, bagaimana capaian presiden itu justru menjadi kendala karena banyak kran mampet dan itu dengan telak dimainkan oleh tim Prabowo. Ternyata orang baik itu melakukan tugasnya tanpa perlu dikoordinasikan.

Masa kampanye mmenunjukkan bagaimana "hukuman" bagai sebuah platform penjualan. Dihajar ramai-ramai sampai pada point yang sangat rendah. Hanya karena pemiliknya salah dalam bersikap yang membuat orang jengah.

Awal tahun media Tempo yang mengulang-ulang terus narasi dengan gabar cover mereka soal presiden. Sikap yang sama terjadi hukuman dalam applikasi Tempo turun sampai angka satu (1). Eh Detik hari-hari ini juga mengalami hingga angka dua (dua). Apakah ada koordinasi? Sependek pengalaman tidak ada gerakan uninstall ini dan itu. lebih heboh soal jokowinyusahin atau jokowitumbangrakyat senang.

Mereka, kubu yang memojokkan pemerintah selalu menjadi trending dalam media sosial. Nah jangan kemudian seolah menepuk air terpecik muka sendiri. Dua pihak yang menuding buzzer yaitu YLBHI dan Refli Harun, lah memangnya ada gerakan atau taggar untuk ini dan itu? Tidak ada ah di sosmed sekalipun.

Ungkapan kekecewaan di media yang bersangkutan juga cenderung karena ngaconya mereka akhir-akhir ini di dalam pemberitaan. Tidak soal pembelaan atau dukungan lagi.

Sebenarnya massa termasuk warganet kalau menghukum itu lebih keras. Mereka bisa serentak tidak mesti dikomando. Dalam pemilu ada banyak tempat dengan pasangan nol (0), tanpa pemilih artinya jelas bagaimana rakyat itu bersikap.

Jadi, lebih baik para pengusung pemakzulan, impeachment, atau tuntutan mundur itu mbok coba ikut dalam pemilihan, kalau menang suka atau tidak ya akan jadi pemimpin negeri ini. Jangan hanya halusinasi dipuja sebagian besar anak negeri dan merasa lebih presiden.  Pembuktiannya sederhana kog, dan itu dijamin UUD, dirikan partai, ikut pemilu, dan menang. Tidak semata merasa diri gede tanpa isi. Miris lagi punya partai dan kalah terus merasa lebih mampu dari pemenang pemilu.

Media, lebih baik fokus menjadi panglima dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dengan pewartaan mereka. Permainan politik semakin menjerumuskan media pada tataran yang amburadul. Membela bak babi buta pun mencela tanpa kenal ampun dan tidak jarang ngawur.

Bangsa ini gede, sukses, dan sudah jelas dengan nilai tukar mata uang yang bagus. Kerja sama akan membuat makin keren lagi, lha kalau malah yang kerja dimaki dan memuji pemalas kan malah lucu.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun