Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Simalakama 22 Tahun Reformasi, Jokowi Mundur Idola Baru

24 Mei 2020   08:44 Diperbarui: 24 Mei 2020   08:57 1464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 5 Simalakama 22 Tahun Reformasi

Beberapa hari lalu tepatnya 22 tahun reformasi terjadi.  berbagai hal memang membanggakan dan membahagiakan, toh masih banyak perilaku sebaliknya yang terjadi. Salah satu yang menggembirakan adalah pemilihan presiden, wakil presiden, gubernur, bupati dan walikota secara langsung. Tidak lagi kalah dengan pilihan kepala desa. Toh di balik itu juga muncul ironisme. Apa saja bisa diihat sebagai berikut.

Suka aatau tidak, ini juga dampak eforia atas kungkungan masa lalu yang demikian otoriter, tangan besi, semua terkendali dalam satu kekuasaan mutlak dengan mengatasnamakan konstitusi. Teror dengan kata-kata komunis dan Antipancasila sangat mencekam. Siapa yang berani dengan label yang sangat mengerikan itu. Tujuh turunan akan merasakan ngilu atas cap komunis.

Masa reformasi masa harapan itu, sayang malah terganjal dengan perilaku tamak politikus masa lalu yang terbiasa makan enak, kenyang, dan perongrong kekayaan negara yang luar biasa banyaknya. Mereka ini yang ingin kembali makan enak gratis pula. Fakta yang perlu disadari dulu.

Faktor berikut adalah kelompok yang mau mengganti ideologi. Mirisnya lagi, mereka ini mengulangi dengan jargon komunis dan menjadikan demokrasi sebagai dalih namun sejatinya memunggungi demokrasi itu sendiri. Selalu berteriak demokrasi tetapi inti apa yang mereka lakukan sebaliknya.

Kondisi dua hal politik tamak dan mabuk agama ini jelas dimanfaatkan kelompok-kelompok masa lalu yang terhentik ladang subur mereka, kepentingan luar negeri yang terbiasa mengeruk dengan murah karena hanya perlu menyuap beberapa elit, kini harus bekerja sesuai dengan kaidah ekonomi yang semestinya.

Wajar jika reformasi seolah menjadi repotnasi. Sering kejadian demi kejadian itu polanya identik. Demo Mei, September, dan eh lah pandemi kog juga sama. Istri tentara ribet di medsos, tokoh agama berulah, militer masa lalu mogol ribut, dan ujung-ujungnya adalah Jokowi mundur. La ndhasmu buat apa pemilu Ndhes??

Ruslan Buton yang mengirim surat terbuka untuk Jokowi-KHMA mundur, apa kapasitasnya coba? Jika memang ia adalah pemimpin massa yang cukup, ya ikutlah pilpres kemarin. Mengapa usai pemilu baru mengatakan akan ada revolusi? Ada siapa di belakang itu? Tentu kelompok di atas.

Tedengar pula seorang istri anggota TNI yang mengatakan harapan semoga pemerintah tumbang. Seorang istri prajurit, yang membawa suaminya ke dalam bui. Ini serius, bukan sekadar. Ada dalang yang menggerogoti militer melalui istri mereka. Ingat kisah tahun lalu banyak militer masuk bui karena istrinya bermedsos dengan tidak patut.

Simalakama reformasi.

Pertama, kebebasan pers, berpendapat, dan bersuara memang dijamin dengan dan dalam UUD bahkan. Miris ketika orang tidak taat azas, aturan, dan kemudian berdalih atas nama kebebasan bersuara. Lihat saja apa yang terjadi betaa banyak perilaku ugal-ugalan dan  tidak jarang adalah fitnah. Pelaku pun bisa siapa saja, mulai dari yang elit seperti Fadli Zon, Said Didu, dan banyak laigi.

Penegakan hukum menjadi ribet, ketika pelaku itu elit politik, elit agama dengan kekuatan massa, dan pelakunya merasa selalu benar. Pun pers bermuka dua, ketika salah menggunakan ralat dan hanya maaf, tidak lama kemudian mengulang. Hal yang mengerikan ketika kesalahan hanya dengan meterai, maaf, khilaf, dan mengulang dengan tidak merasa bersalah lagi.

Kedua, otoda dan ini produk yang memang sangat baik dengan keluasan geografis dengan aneka ragam kekayaannya. Pemberian otonomi yang luas kepada daerah, diharapkan bahwa pembangunan bukan semata Jawa saja. Syukur itu terjadi. Simalakama yang ada  adalah, ternyata raja-raja kecil itu malah abai soal tanggung jawab.

Pusat menjadi sumber dana, namun abai ketika harus bersikap dan tegas dalam membangun daerahnya. Paling jelas ketika pandemi ini, bagaimana PSBB pusat itu pengambil keputusan karena cara pandang yang luas, daerah adalah pelaksana. Tetapi semua nol besar. Pemda seolah hanya mau pesta dana, namun enggan untuk berlaku tertib.

Dana minta terus, namun ketertiban hidup bersama sangat rendah. Apalagi melihat DKI bagaimana kesiapan mereka dalam membagikan bantuan atau tertib aturan yang ada. Permintaan dana cepatnya minta ampun, menertibkan massa sama sekali tidak ada aksi.

Ketiga, korupsi. Suka atau tidak, era Orba dengan Soehartonya korupsi hanya bisa dilakukan elit birokrasi dengan Soeharto dan Golkarnya. Dekat dalam dua jalur itu aman, kini semua lini bisa meraup uang negara. Mirisnya lagi-lagi atas nama demokrasi. Elit atau biasa saja sangat mahir mengolah kata dan data untuk yang namanya korupsi.

Padahal salah satu amanat reformasi adalah pemberantasan korupsi. Susah ketika tidak ada orang bersih menggunakan sapu kotor pula. Satu dua bisa dipercaya namun sepuluh lainnya brengsek.

Keempat, mabuk agama, kondisi yang terjadi dengan kebebasan berserikat dan berdemokrasi juga adalah beragama yang lebih longgar. Mirisnya malah menuju kepada yang jelek. Intoleransi tanpa malu-malu dan tedeng aling aling ada di muka umum. Lha aneh tidak ketika kemenangan Knival saja dikaitkan dengan agama.

Pemaksaan kehendak dengan label agama, perilaku ugal-ugalan dengan menggunakan agama. Padahal jauh dari tuntutan agama. Kekerasan fisik dan kata-kata seolah benar adanya. Tidak usah bicara soal pendirian rumah ibadah, sekadar ucapan ini dan itu saja menjadi soal. Ini tidak hanya antaragama, bahkan di dalam agama pun perundungan dan pemaksaan kehendak sangat mungkin terjadi.

Jika benar-benar demokrasi, semua bisa terlaksana dengan apa adanya. Ketika tidak merugikan atau mengganggu pemeluk lain silakan. Lha malah merusak rumah ibadah, meneror orang beribadah seolah biasa dan baik-baik saja. Dalih demokrasi yang sejatinya memunggungi demokrasi itu sendiri.

Konstitusi menjadi acuan, bukan malah tafsir sepihak dan merasa paling benar, ketika terdesak mengandalkan jurus agama dan pokoke. Lah di  mana coba demokrasinya? Kan koplak namanya. Demokrasi kog hanya jadi sekadar tameng perilaku ugal-ugalan.

Kelima, politik beaya tinggi. Kalkulasi adalah kebutuhan suara kali rupiah. Ingin jadi seorang kepala desa, anggota dewan, atau kepala daerah, tinggal hitung saja berapa ribu suara kalikan berapa rupiah dan itu ada di tangan.  Konsekuensi atas itu adalah  ketika jadi ya sudah mencari balikan modal dan selesailah rakyat ditinggalkan.

Terjadi karena demokrasi setengah-setengah dan membangun demokrasi akal-akalan. Hal yang seolah benar dengan berbagai dalih yang dicari-cari sebagai pembenar. Uang lelah, pengganti upah, atau uang bensin sangat wajar jika tanpa menggunakan nalar yang benar.

Itu semua memang harus dihadapi. Wajar karena negara feodalisme kuat dengan narasi kekacauan yang dibuat oleh kekuasaan puluhan tahun, ketika ada kebebasan ya perlu waktu. Kondisi brisik yang sangat gaduh, bisa membuat keadaan tidak semestinya lahir lagi dan lagi.

Apapun keadaannya Jokowi mundur dan salah itu juga buah reformasi. Hal yang sama sebagaimana reformasi pula yang menjadikannya Jokowi presiden. Dualisme dunia yang perlu kesabaran dan kesadaran untuk dicarikan yang terbaik bagi negeri.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun