Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mendikbud, Jangan Naif, Nikmati Gaji Kecil, Nanti Naik Surga

11 Oktober 2019   17:08 Diperbarui: 11 Oktober 2019   17:12 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jadi ingat artikel tiga tahun lalu dari Suhu Prof. Felix Tani, dengan judul "Mendikbud Mbok Tolong Berpikir Ilmiah Sedikit". Itu tiga tahun lalu soal full day schooll, tadi pagi ponakan mengirimkan link pembicaraan di media sosial.

Siang pembicaraan yang sama diungkapkan grup percakapan para Kompasianer. Jadi tertarik kemudian membaca dengan seksama apa yang dinyatakan dan dikatakan Mendikbud ini. Cukup menarik. Ketika Pak Menteri mengatakan nikmatilah gaji kecil, terutama guru honorer karena nanti agaknya akan masuk surga.

Ada kontradiksi dalam artikel berita itu di awal berita yang dinyatakan sebagai sambutan dalam perayaan Hari Guru Internasional. Mendikbud mengatakan guru itu profesional berdampak sosial, menuju guru profesional itu perlu pendidikan, pelatihan, dan pengalaman panjang. Ini jelas benar, normatif, dan apa adanya.

Jder basuki mawa bea, semua membutuhka beaya, hal yang sangat lumrah, tidak ada hal gratis dalam upaya di dalam kehidupan ini. Panjang rentang waktu itu juga perlu makan, akododasi, dan banyak lagi.

Sejatinya jika yang mengatakan itu kepala sekolah di sekolah yang hidup segan matipun tak mau, dari 14 kelas  paralel pagi sore menjadi siswa hanya 14, itu baik, benar, dan tepat. Ketika yang menyatakan itu adalah Mendikbud, oran tertinggi pengampu kebijakan pendidikan di Indonesia, ya tidak ilmiah, kalau kata Prof. Felix.

Profesi profesional itu layak mendapatkan upah, karena ia bekerja. Siapa yang harus memberikan upah atau gaji , negara atau pemerintah, yayasan, atau pihak lainnya. Dan salah satu penentu itu adalah Mendikbud. Dua kondisi yang dinyatakan sendiri oleh Mendikbud, profesional, kog gaji kecil, paradog.

Mengapa ada guru  mendapatkan gaji kecil, ini bukan masalah ketidakmampuan negara atau yayasan, namun jauh lebih mendasar adalah bobroknya sistem pendidikan yang ada.

Pertama, membeludaknnya jurusan kependidikan, setiap perguruan tinggi berlomba-lomba membuka fakultas dan jurusan keguruan. Padahal rentang waktu pergantian guru itu panjang bisa hingga 30 tahun. Ketika semua lulus, mau ke mana? Suka atau tidak, akhirnya menjadi honorer dan terpaksa ada yang bergaji kecilpun diambil.

Kedua, banyak yayasan mati suri, seperti yang saya sebutkan di atas, kelas paralel dulu 14 satu tingkat, kini hanya 14 siswa per tingkat. Salah manajemen dan sistem buruk pendidikan. Ini tanggung jawab kementrian dan jajaran. Jangan malah mengatakan naik surga dengan gaji kecil.

Ketiga, yayasan tua banyak mati, namun banyak juga sekolah dan yayasan baru berdiri. Ironisnya jauh dari watak pendidikan. Lapangan tidak ada, gedung megah, mewah, dan kadang cenderung tertutup, bukan seperti sekolah. Ada pula yang menggunakan ruko malah. Mana area bermain jika demikian, itu lebih cocok untuk bombel bukan sekolah.

Keempat, masuknya politis agamis, sehingga membuat banyak sekolah dan yayasan terpaksa tutup karena tertekan dengan nasihat pemuka agama yang sering tidak pada tepatnya. Ini masalah serius. Seolah menutup mata akan model ini nampaknya Mendikbud.

Kelima, berkaitan dengan berlomba-lombanya universitas dan sekolah tinggi dengan fakultas keguruan, karena sertifikasi yang menggiurkan pemuda itu tidak dibarengi dengan pemikiran menyeluruh mengenai kuota kebutuhan dan banyaknya serapan lulusan. Hanya berpikir perguruan tinggi dapat mahasiswa dan mahasiswa bisa kuliah.

Keenam, rendahkan kualifikasi calon mahasiswa kependidikan, suka atau tidak, hal ini adalah faktual. Kadang orang frustasi ditolak  fakultas lain masuk kependidikan. Hal awal yang tidak sehat, ini masalah jika tidak dikelola dengan baik.

Ketujuh, keberadaan yayasan dan sekolah kecil-kecil yang sejak awal tidak kuat secara finalsial. Bagaimana mereka bisa menggaji guru dengan layak? Hal ini bukan soal surga atau apa, namun soal tanggung jawab yang tidak benar pemangku kebijakan dalam memberikan izin.

Kedelapan, sikap serius bangsa dan negara berkaitan dengan pendidikan masih lemah. Lihat saja  bagaimana sekolah lama, bukak alas, banyak yang mati karena sistem penempatan sekolah negeri yang ugal-ugalan. Seolah sepele, namun itu mendasar dalam mengelola pendidikan.

Kesembilan, sistem pendidikan favorit dan pinggiran yang dianut pemerintah lampau, juga membuat guru yang tidak cukup cakap mau tidak mau menjadi guru dengan gaji yang mepet, padahal guru sekolah favorit bisa berkecukupan.

Kesepuluh, ini soal sikap dan kebijakan, bukan soal besar upahmu di surga. Maaf jika terlalu kasar dan keras apa bedanya dengan Karl Marx, yang mengatakan agama adalah candu. Jika semua hal yang tidak mampu dan tidak mau menyelesaikan akan diganjar di surga.

Kesebelas, soal distribusi dan kemauan pemerintah baik daerah ataupun pusat soal dana dan gaji pegawai ini. Lagi-lagi soal politis dan kadang agamis juga.

Kedua belas, gaji kecil dan ngarep di surga boleh lah kalau untuk lajang, kalau berkeluarga, apa tidak ndhedher kere, bagaimana kualitas keluarga mereka, kesehatan, gizi, pendidikan, dan hidup mereka. Mungkin Pak Menteri belum pernah hidup dengan gaji  mepet.

Jika saja pengelolaan sistem pendidikan dengan cara yang lebih baik, bijaksana, dan apalagi tidak banyak maling, tidak akan ada guru dibayar minim lagi. Miris sejatinya jika Menteri berbicara seperti itu, bukan motivasi itu sih, namun enggan mengubah keadaan, dan melemparkan tanggung jawab pada Tuhan.

Dulu kurang ilmiah, kini juga meskipun dibalut dengan istilah religius. Jangan naif Pak Menteri dan juga mbok ilmiah sedikit gagasannya. Mau memotivasi atau hanya sekadar guyon, tetap tidak pas.

Terima kasih dan salam

Sumber: Detik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun