Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Frater Arya

22 Maret 2018   05:20 Diperbarui: 22 Maret 2018   06:17 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rimbunnya pepohonan di novisiat itu sangat meneduhkan, termasuk hatiku yang masih dag dig dug dengan pengalaman sangat baru ini. Melewati hijaunya pohon bambu penghias halaman komplek kolose yang akan aku huni dua tahun ke depan, aku tahu, soal hidup berasrama bukan hal baru. Empat tahun di AKMIL aku yakin jauh lebih berat. Tapi kini.....

Pelantikan perwira muda dengan menjadi lulusan terbaik, seolah baru kemarin aku sandang. Masih melela kebahagiaan dan kebanggaan sebagai tentara angkatan udara. Pun penerbang dan menjadi kapten pesawat tempur yang tidak banyak bisa diperoleh anak negeri ini. Semua masih segar.

Sebulan lalu, mantanku mengucapkan tri prasetyanya di pertapaan lereng Merbabu sana, satu kabupaten dengan domisiiku untuk dua tahun mendatang. Seorang perwira muda dari angkatan darat yang mengubah jalan hidupnya dengan drastis.

Sedikit banyak yang mengantarkan langkahku kini, bukan langkah militer, namun langkah seorang religius.... Sendiri di balik bilik dengan kursi dan almari kecil, serta dipan kayu sangat tua ini, aku jadi ingat masa-masa yang harus aku lalui.

Keputusan Yudit, aku akan selalu mengenangnya dengan nama biaranya saja, biar aku tidak salah melangkah di jalur ini. Usai dia menyatakan akan mundur dari dinas TNI, yang membuat banyak orang kaget, kecuali Ibu yang hanya tersenyum lebar sambil geleng-geleng kepala, apalagi aku yang tidak sampai pingsan, namun cukup membuatku limbung, apalagi keputusan untuk mengakhiri jalinan kasih kami yang masih sangat-sangat dini. Diperparah dengan keputusan masuk pertapaan.

Sebulan dua bulan aku berharap, bahkan berdoa, agar ia pulang. Hingga hampir setahun aku berdoa yang sama, rutin, bahkan ziarah ke perbagai tempat doa, gua Maria, dan diskusi dengan binroh di kesatuan.

"Ya, ikut yo besok aku mau ngelayat rekan rama, " ajak Rama Albertus, pangkat sama, senior, dan bukan semata beliau tentara, namun pembina rohani, aku respek dan mengangguk tanpa menjawab.

Pagi-pagi kami berangkat, mengendarai mobilku, kami lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Aku juga menjaga perasaan pembina rohani dan rekanku itu untuk melakukan perjalanan dengan diam. Rekannya itu teman satu angkatan, sejak seminari menengah bahkan. Rama Vincent itu meninggal karena kanker getah bening, beliau menjadi dosen usai menjalani pendidikan doktoral di Roma. Pantes kalau Albert terlihat sedih.

"Ya, kalau kamu dipanggil gantikan Vincent mau?" tanyanya tetap dengan pandangan ke depan dan sama sekali tanpa ekspresi, tentara banget.

Sampai kaget dan tidak sadar menginjak pedal rem," Apa Rama?" atu tidak berani memanggil nama saja kepadanya. Segan karena kewibawaannya, meski sepantaran. Sama sekali gak bisa jawab, mau jawab apa, toh beliau juga tahu kegoncanganku atas keputusan Yudit.

Telah cukup ramai komunitas yang terdiri atas pembinaan tahap awal, karya, purnakarya, dan makam ini. aku pernah diberi kisah kompleks ini oleh Albert beberapa waktu lalu.  Parkiran masih cukup longgar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun