Di balik tetes darah dan keringat, setiap prajurit tahu perjuangan belum selesai. Aku bangga pasukanku telah berjuang dengan gagah berani. Namun, aku juga perintahkan agar tawanan diperlakukan dengan baik.
Aku berpesan bahwa musuh boleh mati oleh peluru kita di medan tempur, tetapi jika mereka telah berdiri di luar medan tempur, tak satu pun orang yang boleh membuatnya terluka dan menderita. Perang bukan alasan membuat orang lain kehilangan segalanya.
Di tengah waktu istirahat, aku menepi sejenak. Duduk di atas batu sembari melepas pandangan jauh ke rimbun pohon di bahwahku. Sekonyong-konyong, aku teringat cerita orang-orang yang menemuiku kemarin. Di antara mereka ada yang kusebut Sahabat Muda.
"Selama ditahan, kami harus bekerja di sawah. Bekerja di perkebunan kopi. Mengangkut batu dan kayu untuk membuat jalan. Jika kami menolak, kami disiksa,” kata Sahabat Muda dengan mata berkaca-kaca. Kala itu, dia termasuk orang-orang tahanan serdadu Fretilin.
“Kerja paksa?” kataku mengernyitkan dahi.
“Benar!" sahutnya. Lalu dia mengatakan bahwa selama ditahan, dia pernah disiksa sampai mendekati kematian. Sahabat Muda menanggung rasa sakit tak tertanggungkan.
Ketika dia dicelupkan ke lubang dangkal, hanya kepalanya muncul di atas tanah. Wajahnya babak belur.
Menurut cerita Sahabat Muda, perlakuan keji itu terjadi dalam situasi kekerasan tak terkendali. “Kami disiksa, lalu TNI datang menolong.”
“Apa bentuk siksaan lainnya?” kataku penasaran.
“Mereka tidak hanya memukul kami dengan tangan dan senapan,” katanya menggebu-gebu. Suaranya mengentak. “Kadang-kadang, teman-teman saya dipukul dengan batang besi dan tongkat kayu.”
"Sampai begitu?" kataku. Berat rasanya untuk percaya hal itu nyata.