Kabut masih menggantung di lembah. Pasukanku bersiap menembus garis musuh. Bukit tinggi menjulang di depan kami adalah target yang harus diambil alih. Hutan belantara ini menjadi mata dan telinga keberanian prajuritku.Â
Bukit itu harus direbut bukan hanya sebagai penanda kemenangan, melainkan juga karena kami harus berdiri di sana agar bisa lebih mudah melindungi kampung-kampung di sekitarnya.Â
"Target harus kita ambil hari ini!" ujarku.
"Siap, Pak!" sahut Letnan Gebo.Â
Aku tahu, perintahku adalah beban yang menekan dadanya. Namun, aku percaya pada keberaniannya. Sorot matanya menembus kabut. Nafasnya begitu panjang. Â
Meski mentari belum menyingsing, kami sudah melangkah. Hujan yang tumpah menjelang subuh tadi membuat tanah liat licin. Sepatuku makin berat oleh air dan lumpur. Mendekati sasaran, terdengar bunyi mortir menghantam lereng.
"Mereka sudah tahu kita datang, Pak!" kata seorang perwiraku sambil merapatkan helmnya.Â
Aku mengangguk. Dalam perang, tidak ada langkah yang benar-benar bisa sembunyi. Kami terus bergerak membelah sisa-sisa kabut. Di kiri dan kanan, belukar menjadi perisai.Â
Tak seberapa lama, rentetan peluru menyalak. Berjatuhan dari puncak. Sontak saja kami tiarap. Suara letusan senapan bercampur teriakan terdengar mengancam. Hujan peluru menyapu dedaunan di sekitarku.
Dentuman silih berganti. Tak henti-henti mencari tubuh yang disasarnya. Lalu terdengar kembali ledakan granat. Mengguncang tanah. Peluru berdesing melewati daun-daun. Sebagian menancap di batang pohon. Asap mesiu mengangkangi udara.Â
Aku merunduk dan berlindung usai menembak ke arah bayangan musuh yang berlari di antara pepohonan. Namun, seorang anak buahku terjatuh. Pahanya disobek peluru. "Cepat berlindung!" pekikku.