Mohon tunggu...
A.A. Sandre
A.A. Sandre Mohon Tunggu... penikmat kata dan kopi

sekata sekopi

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Anak Pejuang (Bagian XXI)

17 September 2025   20:06 Diperbarui: 19 September 2025   18:01 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber poto: Instagram @prabowo

Langit sedang bersiap menjingga. Menyambut senja. Pertempuran belum usai. Kami masih gencar melepaskan tembakan ke arah serdadu musuh. 

Dalam keadaan tertekan, pertahanan musuh semakin rapuh. Beberapa dari mereka berhamburan meninggalkan posisi semula. Aku terus melangkah maju mendekati garis musuh diikuti pergerakan pasukan.   

Aku kembali menembak dan berlindung di sebuah pohon. Siasat ini kulakukan berkali-kali. Sembari sesekali mengintip pergerakan musuh yang berlari menyelamatkan diri. Hari hampir gelap. Betapa rimba ini menyimpan banyak jurang. 

Kini aku bernapas lega. Meski kontak tembak belum benar-benar reda, tak lama lagi target untuk mengambil alih posisi musuh akan tercapai. Sayangnya, radio penghubung rusak terkena tembakan. Kontan saja hubungan komunikasi kami dengan markas komando terputus. 

Mentari berangsur redup. Kelam mulai merenggut pemandangan di sekitarku. Yang terdengar hanya kicau terakhir burung terlambat pulang. Mendung pun datang menutup wajah langit di belantara berkapur ini. Aku tak lagi melihat kemerjap bintang. "Kita istirahat. Tetap waspada. Segera perbaiki radionya," kataku memberi perintah.

"Siap!" kata Sersan Ilham.

Hujan tumpah. Begitu deras. Aku mulai dihantui kekuatiran. Duduk dengan hati dirubung gelisah. Ingin berbaring sejenak namun perasaanku tak kunjung tenang. Tempat ini belum sepenuhnya aman pikirku.  

Tak seberapa lama, dugaanku jadi kenyataan. Serentetan tembakan menggempur kami. Serangan mereka begitu cepat dan sangat brutal. Aku tak dapat memastikan sebanyak apa musuh yang datang dan dari arah mana pergerakan mereka. 

Suara tembakan musuh terdengar tak henti-henti. Aku bergegas berlindung. Namun, kabar burung beredar cepat dan sudah sampai ke telinga Titiek. Aku dikabarkan gugur. Komunikasi terputus akibat radio penghubung yang rusak menjadi penyebab. Di sana Titiek meratap sejadi-jadinya, di sini aku bertahan dalam sebuah parit. 

Sekonyong-konyong, rinduku pada Titiek membumbung. Aku teramat ingin memeluk erat tubuhnya. Aku menarik napas dalam-dalam. Tak terasa air mata menitik membasahi pipiku.  

Menyadari kesedihanku, aku lekas-lekas menyeka air mata. Kembali menghimpun semangat juang. Berharap tak meregang nyawa di sini. Namun, bila saat kematian itu tiba, kuingin Titiek berada di sisiku. "Ya, Allah, saya mohon perlindungan," ucapku lirih seraya mendongak ke langit. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun