Pada Pilpres 2014 terjadi polarisasi antara anak bangsa yang begitu nyata. Perang twit, hastag, dan komentar terjadi di setiap lini media sosial antar pendukung. Kalimat nyinyir, cacian saling sahut di sosial media.Â
Yang awalnya berteman, bisa jadi musuh karena perbedaan kutub politik, dan sebaliknya. Seharusnya pesta menjadikan gembira, pesta demokrasi kala itu malah menanam dan memupuk kebencian.
Pemerintahan berganti, tentu ada yang ketiban kue dan ada yang kehilangan kue. Ada yang merasa diakomodasi dan adapula yang merasa didiskriminasi. Ada yang puas, ada yang tidak puas. Hal itu wajar, protes pun boleh selama cara-cara yang dilakukan tidak merusak.
Tentu kita mengapresiasi Aksi 212 yang dihadiri ribuan, bahkan jutaan orang untuk menyuarakan ketidakpuasannya pada pemerintahan. Meskipun pada saat yang sama juga menyayangkan adanya pihak yang mempolitisasi agama dan munculnya ujaran kebencian yang menyeruak.
Menjelang Pilpres dan Pileg di tahun politik 2019, sisa-sisa aroma pilpres sebelumnya memang masih terasa, meskipun tak se-menyengat kala itu.Â
Sebagian orang mungkin sudah menyadari dampak rusak dari perang kata dan kalimat secara terbuka, atau kampanye persatuan yang didengungkan berbagai elemen bangsa sudah menunjukkan hasil, atau bisa juga masyarakat sudah anti pati dengan politik. Alasan yang melatar belakangi tidak terlalu penting, bagi rakyat kecil seperti saya yang terpenting hidup rukun, sesama anak bangsa bisa saling menghormati dan menjaga persatuan.
Kita perlu menggaungkan kembali filosofi sapu lidi yang diajarkan oleh orang tua kita. Bersama-sama dan bersatu padu kita akan lebih kuat, tidak mudah dipatahkan. Sebaliknya, jika sendiri sendiri maka mudah ditaklukkan. Layaknya sapu lidi, kebersamaan juga akan memberikan manfaat yang lebih daripada sendirian.
Apalagi bagi sesama umat beragama, dalam hal ini kaum muslimin, meskipun beda kubu dan pandangan, perintah agama tetap, yaitu tidak berpecah belah apalagi menjadi pihak yang memecah belah. Bahkan dalam Al Qur'an orang yang memecah belah dianggap orang yang menyekutukan Allah.
"... janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." [QS. Ar-Rum: Ayat 31- 32]
Sebagai kaum muslimin, seharusnya kita menjaga persatuan sesuai perintah agama sebagaimana dalam hadits.
"Orang mukmin dengan orang mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain." [HR. Muslim]
Menilik bangunan, jika salah satu rusak maka akan mengakibatkan kerusakan pada bagian lain. Misalkan, jika genteng bocor, maka ketika hujan rumah bisa banjir lokal, plafon dan kayu yang terkena air bisa rusak. Juga kursi atau kasur yang terkena tetesan air.
Nepakke awak adalah pitutur luhur yang harus digaungkan. Jika tidak mau dijiwit ya jangan njiwit. Ucapan yang jika disematkan kita akan tersinggung, tidak kita lontarkan ke orang lain. Perumpamaan tersebut selaras dengan hadits.
"Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam." (H.R. Bukhari dan Muslim)
Kesadaran orang lain juga dapat merasakan sakit, menjadikan kita tidak mudah menyalahkan, menghakimi apalagi mencaci.