Kata reformasi selalu terdengar gagah. Ia seolah membawa harapan bahwa yang bobrok bisa diperbaiki, yang kelam bisa diterangi. Tapi di negeri ini, kata reformasi sering kehilangan makna. Reformasi hukum, birokrasi, politik semuanya seakan jadi jargon yang mudah diucapkan, tapi sulit diwujudkan. Dan kini, giliran reformasi Polri kembali masuk ke panggung politik nasional.
Presiden Prabowo Subianto sudah menyetujui pembentukan Komisi Reformasi Polri. Komisi ini diklaim akan mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, menilai kembali tugas dan kewenangan kepolisian, serta menata ulang tata kelola internalnya. Sekilas, ini tampak seperti langkah maju. Namun, pertanyaan yang tak bisa kita abaikan: apakah reformasi ini sungguh menjadi ruang deliberasi publik, atau justru reproduksi kuasa negara dengan wajah baru?
Dalam teori ruang publik, Jrgen Habermas menekankan bahwa demokrasi hidup bukan karena perintah elite, tapi karena dialog yang sehat antara warga negara. Reformasi Polri seharusnya menjadi bagian dari komunikasi deliberatifproses di mana masyarakat sipil, akademisi, korban penyalahgunaan kekuasaan, dan kelompok marginal diberi ruang untuk bicara, mengkritik, dan didengar.
Jika reformasi Polri hanya digagas, dipimpin, dan dieksekusi oleh elite politik, maka ia tidak memenuhi prinsip deliberasi publik. Reformasi itu akan berubah menjadi monolog: negara bicara, rakyat hanya mendengar. Di sinilah problemnya. Komisi Reformasi Polri memang disiapkan, tapi belum jelas siapa yang akan duduk di dalamnya. Apakah akademisi independen, organisasi HAM, perwakilan masyarakat sipil akan benar-benar dilibatkan? Atau hanya sekadar figur-figur senior yang sudah nyaman dengan status quo?
Michel Foucault melihat institusi negara termasuk polisi sebagai perangkat kuasa yang mengatur, mendisiplinkan, dan mengawasi tubuh masyarakat. Polisi tidak hanya menegakkan hukum, tapi juga memproduksi ketaatan. Dengan kacamata ini, reformasi Polri bisa dibaca secara lebih skeptis: jangan-jangan reformasi bukan berarti kuasa polisi dilemahkan, tapi justru diperhalus, lebih rapi, dan lebih sulit dilawan.
Reformasi bisa saja sekadar memperindah wajah lama. Polisi mungkin akan lebih ramah dalam komunikasi publik, tapi tetap represif di lapangan. Reformasi mungkin akan membenahi prosedur, tapi tetap memberi ruang besar pada diskresi aparat. Dalam arti ini, reformasi adalah reproduksi kuasa: memperbarui alat, tapi tetap menjaga tujuan yang sama kontrol terhadap masyarakat.
Faktanya, Presiden telah menyiapkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk membentuk komisi reformasi. Bahkan, disiapkan juga komisi investigasi independen untuk menyelidiki prahara Agustus serangkaian kerusuhan dan demonstrasi yang berakhir dengan kekerasan aparat.
Di atas kertas, langkah ini terlihat menjanjikan. Tapi pengalaman kita mengajarkan untuk tidak buru-buru percaya. Sudah terlalu banyak komisi dibentuk hanya untuk meredam kritik publik, lalu hilang tanpa jejak nyata. Reformasi Polri bisa jatuh ke jebakan yang sama: seremonial, tanpa substansi.
Kenapa Reformasi Polri Mendesak?
Alasan paling mendasar mengapa reformasi Polri perlu dilakukan adalah karena krisis kepercayaan publik yang makin dalam. Survei beberapa tahun terakhir menunjukkan citra kepolisian terus menurun, terutama setelah rentetan kasus yang melibatkan kekerasan aparat.