Rempah yang Hilang di Meja Makan
Kenaikan harga daging ayam dan sapi dalam beberapa bulan terakhir menimbulkan gelombang keresahan di banyak daerah, termasuk Malang. Apa yang sebelumnya menjadi sajian sehari-hari, kini berubah menjadi barang mewah yang harus dipertimbangkan ulang sebelum masuk ke keranjang belanja. Lebih dari sekadar hitung-hitungan ekonomi, kondisi ini mengguncang sendi kehidupan kuliner masyarakat, terutama karena lidah Indonesia sudah terbiasa dengan kelezatan bumbu rempah yang kaya.
Di tengah tekanan harga, banyak pedagang kuliner berusaha mencari jalan keluar. Ada yang memilih mempertahankan harga jual, namun menyederhanakan bumbu masakan. Ada pula yang menaikkan harga porsi, dengan risiko kehilangan pelanggan setia. Semua itu pada akhirnya menimbulkan satu persoalan baru: kualitas rasa yang berubah.
Kenaikan Harga yang Mengguncang
Kenaikan harga daging ayam dan sapi terjadi hampir merata di berbagai daerah di Indonesia. Di Jawa Timur, misalnya, harga ayam potong di Surabaya dan Malang sempat menembus Rp 40.000 per kilogram, dari sebelumnya sekitar Rp 33.000. Bahkan di beberapa wilayah, harga ayam melonjak lebih tinggi hingga Rp 45.000, melewati harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Harga daging sapi tidak kalah mengejutkan. Dari kisaran Rp 100.000 per kilogram, harga melonjak ke Rp 130.000 per kilogram. Kenaikan ini membuat sejumlah pedagang daging sapi melakukan aksi mogok, karena harga terlalu tinggi bagi konsumen dan menekan omzet mereka.
Beberapa faktor yang memicu lonjakan harga antara lain meningkatnya permintaan akibat perayaan besar, kenaikan biaya pakan, berkurangnya pasokan dari peternak, serta kebijakan fiskal berupa pengenaan pajak pertambahan nilai (PPn) 10 persen pada sapi impor. Kombinasi faktor-faktor tersebut menciptakan tekanan ganda: di satu sisi biaya produksi meningkat, di sisi lain daya beli masyarakat melemah.
Dampak bagi Pedagang Kuliner