Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Rempah yang Hilang di Meja Makan

16 September 2025   19:18 Diperbarui: 16 September 2025   19:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang daging ayam potong ketika masih ramai di bilangan Tlogomas Malang. Foto : Parlin Pakpahan.

Bagi pedagang kuliner, kenaikan harga daging bukan sekadar soal margin keuntungan. Ini adalah soal keberlangsungan usaha. Warung rawon, soto ayam, atau bakso yang menggantungkan diri pada daging sebagai bahan utama kini menghadapi dilema. Apakah menaikkan harga per porsi dan berisiko ditinggalkan pelanggan, ataukah tetap menjual dengan harga lama namun mengurangi kualitas bahan dan bumbu?

Banyak pedagang memilih opsi kedua : menyederhanakan bumbu masak. Yang tadinya kaya rempah, kini miskin rempah. Rawon, misalnya, kehilangan kedalaman rasa kluwek dan rempah pelengkap lainnya. Soto ayam yang biasanya harum dengan paduan kunyit, jahe, sereh, dan daun jeruk, kini disajikan dengan bumbu seadanya.

Di satu sisi, pedagang berusaha bertahan. Namun di sisi lain, konsumen merasakan perubahan yang tidak bisa ditawar. Lidah Indonesia sudah terbiasa dengan cita rasa yang kompleks. Menyederhanakan bumbu sama saja dengan mengubah identitas masakan itu sendiri. Akibatnya, pelanggan justru kecewa, omzet turun, dan tak sedikit pedagang kuliner yang akhirnya kolaps.

Konsumen yang Terpaksa Beralih

Pedagang daging ayam potong ketika masih ramai di bilangan Tlogomas Malang. Foto : Parlin Pakpahan.
Pedagang daging ayam potong ketika masih ramai di bilangan Tlogomas Malang. Foto : Parlin Pakpahan.

Di level rumah tangga, dampaknya tak kalah terasa. Harga daging yang tinggi membuat banyak keluarga mengurangi pembelian. Daging ayam atau sapi yang dulunya bisa hadir beberapa kali seminggu di meja makan, kini digantikan oleh alternatif yang lebih murah : ikan pindang, ikan asin, telur, tahu, dan tempe.

Kondisi ini menimbulkan perubahan pola konsumsi. Memang, masyarakat Indonesia terkenal fleksibel dalam soal makanan, tetapi hilangnya daging sebagai menu utama tetap menimbulkan rasa kehilangan. Apalagi ketika kuliner Indonesia justru bertumpu pada kekuatan daging dan rempah, mulai dari rendang, sate, rawon, hingga sop buntut.

Oase di Tengah Kegalauan : Pedagang Sayur

Di tengah situasi suram ini, ada kelompok pedagang yang relatif lebih tenang : mereka yang menjajakan sayur-mayur, buah, dan ikan dengan harga lebih stabil. Contohnya Warung Sayur Pak Ali di Tlogosari, Malang. Warung ini tetap ramai dikunjungi mahasiswa dan warga sekitar, karena barang dagangan selalu segar, tertata rapi, dan dijual dengan harga wajar.

Keberhasilan Pak Ali menjaga mutu sekaligus harga membuat warungnya menjadi oase di tengah kegalauan harga daging. Namun, kondisi ini juga menunjukkan kesenjangan : pedagang yang berbasis sayur-mayur lebih terlindungi, sementara pedagang kuliner berbasis daging justru terpukul paling parah.

Kebijakan Fiskal yang Membebani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun