"Wow, luarbiasa! Tidak mirip Arabika, malah agak mirip Robusta, tapi lebih halus. Ada aroma kacang, aftertaste-nya panjang. Segar sekali," jawab saya spontan.
Calvien terkekeh. "Nah, itu dia. Banyak yang bilang begitu. Yellow Caturra punya karakter sendiri."
Tantangan dan Harapan
Meski menjanjikan, perjalanan Yellow Caturra tidak mudah. "Bibitnya jarang sekali. Penjual bibit hampir tidak ada. Makanya jumlah pohonnya di Indonesia bisa dihitung jari. Itu yang bikin kopi ini jadi mahal dan langka," jelas Calvien.
Ia menambahkan edukasi pasar juga menjadi tantangan. "Orang-orang tahunya Gayo, Toraja, Mandailing. Yellow Caturra? Banyak yang baru dengar. Jadi butuh waktu untuk bikin pasar kenal dan menghargai kopi ini."
Namun di balik tantangan itu, ia menyimpan keyakinan besar. "Kalau berhasil, Yellow Caturra bisa jadi ikon baru kopi Indonesia. Bayangkan, dari lereng Arjuno, kita bisa bawa nama Malang ke dunia. Itu mimpi saya," katanya penuh semangat.
Legacy Keluarga
Ternyata, semangat Calvien bukan tanpa akar. Kakeknya dari pihak ibu adalah seorang ambtenar di kebun bibit besar di Jember. Dari situlah barangkali mengalir kecintaannya pada perkebunan.
"Mungkin ada darah dari kakek saya. Beliau dulu kerja di kebun bibit Jember. Jadi saya juga terbiasa dengar cerita soal tanaman. Sekarang, kopi jadi jalan hidup saya," kenangnya.
Secangkir Harapan dari Lereng Arjuno Malang
Kisah Yellow Caturra adalah kisah tentang keberanian menjaga sesuatu yang hampir hilang. Ia adalah warisan sejarah, jejak Portugis dan Belanda di tanah Nusantara, yang kini bangkit kembali di tangan para petani muda.