Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Taiwan, NATO Indo-Pacific dan Tantangan Indonesia

22 Agustus 2025   18:33 Diperbarui: 22 Agustus 2025   18:33 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Taiwan Lai Ching-te (tengah) bersama prajurit Taiwan. (Sumber : straitstimes.com).

Taiwan, NATO Indo-Pasifik dan Tantangan Indonesia

Pernyataan Presiden Taiwan Lai Ching-te pada 22 Agustus 2025 bahwa negaranya menargetkan belanja pertahanan hingga 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sebelum 2030 bukanlah sekadar wacana teknis mengenai anggaran militer. Ia adalah refleksi dari konstelasi geopolitik baru di kawasan Indo-Pasifik, di mana Taiwan, meskipun bukan anggota resmi North Atlantic Treaty Organization (NATO), berperan layaknya bagian dari struktur pertahanan kolektif yang dipelopori Amerika Serikat.

NATO secara tradisional adalah aliansi trans-Atlantik yang berakar di Eropa dan Amerika Utara. Namun sejak satu dekade terakhir, organisasi ini menaruh perhatian khusus pada kawasan Indo-Pasifik, terutama karena kebangkitan China sebagai kekuatan militer dan ekonomi. Taiwan menjadi episentrum dari ketegangan tersebut. Ambisi China untuk melakukan reunifikasi, baik secara damai maupun melalui kekuatan militer, menjadikan pulau ini sebagai "frontline" dalam kontestasi global.

Situasi Taiwan menarik untuk dibaca bersama dengan dinamika negara-negara Asia Tenggara. Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, hingga Kamboja memiliki posisi berbeda dalam menghadapi tekanan geopolitik antara Washington dan Beijing. Pertanyaannya, bagaimana Indonesia - negara terbesar di Asia Tenggara - menentukan sikap. Apakah tetap berpegang pada doktrin non-blok yang semakin usang, ataukah mengambil posisi tegas dalam mempertahankan kedaulatan nasional di Natuna dan Ambalat dengan dukungan aliansi pertahanan internasional.

Taiwan dan Tekanan NATO-isasi

Sejak 2019, China meningkatkan tekanan militer terhadap Taiwan melalui patroli udara, pengerahan kapal perang, serta latihan besar-besaran di sekitar Selat Taiwan. Taiwan menolak keras klaim Beijing yang menyebut pulau itu sebagai bagian tak terpisahkan dari Republik Rakyat China.

Dalam konteks ini, Taiwan menempuh dua jalur : pertama, memperkuat industri persenjataannya sendiri - mulai dari jet tempur, kapal perang, hingga rudal jelajah; kedua, membuka ruang kerjasama erat dengan Amerika Serikat dan mitra-mitra NATO. Langkah terbaru Taiwan memasukkan anggaran penjaga pantai ke dalam belanja pertahanan mencerminkan model "total defense" ala NATO, di mana setiap instrumen negara diarahkan untuk tujuan pertahanan kolektif.

Target 5 persen PDB untuk anggaran pertahanan bukan angka kecil. Dengan PDB Taiwan sekitar 900 miliar dolar AS (2024), belanja pertahanan 5 persen berarti lebih dari 45 miliar dolar AS per tahun - hampir setara dengan anggaran pertahanan Rusia pada periode yang sama. Artinya, Taiwan siap menjadi "Israel di Asia Timur" dengan dukungan penuh Washington.

Filipina : Garda Depan di Laut China Selatan

Jika Taiwan adalah titik sentral di utara, maka Filipina menjadi mitra penting AS di selatan. Presiden Ferdinand Marcos Jr. membuka kembali akses militer AS ke beberapa pangkalan strategis, termasuk yang menghadap langsung ke Taiwan. Manila juga semakin vokal dalam menghadapi klaim China di Laut China Selatan (LCS).

Ketegangan antara kapal penjaga pantai Filipina dan China beberapa kali hampir berujung pada bentrokan bersenjata. Walau ekonomi Filipina masih rapuh, pemerintah memilih mempertegas posisi geopolitik dengan menggandeng AS. Latihan gabungan "Balikatan" diperluas skalanya dan kerap diadakan di wilayah sengketa.

Dengan posisi geografis yang berdekatan, kepentingan Filipina dan Taiwan kerap beririsan. Bagi Washington, keduanya adalah bagian dari "first island chain" yang harus dipertahankan untuk menghalangi ekspansi maritim China ke Pasifik.

Thailand, Malaysia, dan Kamboja: Garis Retak ASEAN

Negara-negara Asia Tenggara lainnya menampilkan wajah yang beragam. Thailand secara historis adalah sekutu dekat AS di kawasan, dengan militer yang sangat bergantung pada dukungan teknologi Barat. Meskipun pemerintah Thailand berusaha menjaga hubungan baik dengan Beijing, ikatan militernya dengan Washington tetap kuat.

Malaysia berada di posisi lebih hati-hati. Meskipun juga bersengketa dengan China di LCS, Kuala Lumpur cenderung menghindari konfrontasi terbuka. Faktor ekonomi, perdagangan, serta hubungan diplomatik membuat Malaysia memilih jalur diplomasi tenang dibanding konfrontasi militer.

Sementara Kamboja jelas berada di bawah pengaruh Beijing. Hun Sen dan kini Hun Manet membangun hubungan strategis dengan China, termasuk dalam pembangunan pangkalan laut Ream yang ditengarai memberi China pijakan militer di Teluk Thailand. Bahkan Rusia pun masuk melalui kerjasama politik dan militer, menjadikan Kamboja sebagai salah satu titik "poros Beijing-Moskow" di Asia Tenggara.

Indonesia : Strategi Dua Kaki

Indonesia menempati posisi unik. Dengan populasi terbesar dan ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia dipandang sebagai jangkar kawasan. Namun dalam praktiknya, sikap Indonesia terlihat ambigu.

Di satu sisi, Jakarta sering menampilkan wajah pro-Beijing, misalnya dalam kerjasama ekonomi, investasi Belt and Road, hingga sikap hati-hati di forum internasional terkait Taiwan maupun Laut China Selatan. Di sisi lain, ketika menyangkut kebutuhan pertahanan nasional, Indonesia justru lebih condong pada persenjataan Barat.

Pembelian jet tempur Rafale dari Perancis, rencana akuisisi pesawat tempur Kaan buatan Turki (anggota NATO), serta modernisasi kapal perang melalui kerjasama dengan Eropa, menunjukkan bahwa militer Indonesia tidak bisa sepenuhnya bergantung pada China maupun Rusia. Bahkan upaya kerjasama pertahanan dengan Korea Selatan (KF-21 Boramae) juga mencerminkan pilihan mitra non-China.

Ambalat di perbatasan dengan Malaysia dan Natuna yang berbatasan dengan zona klaim China adalah dua titik rawan bagi kedaulatan Indonesia. Di titik inilah strategi "dua kaki" Indonesia diuji. Pertanyaan besar : sampai kapan Indonesia bisa bersikap ambigu tanpa kehilangan posisi strategisnya di Indo-Pasifik.

Non-Blok : Warisan yang Usang

Sejak era Sukarno, Indonesia dikenal sebagai penggagas Gerakan Non-Blok (GNB). Doktrin ini lahir dalam konteks Perang Dingin, ketika banyak negara Asia-Afrika tidak ingin terseret dalam pertarungan blok Barat dan blok Timur.

Namun dunia hari ini berbeda. Aliansi internasional bukan lagi sekadar pertarungan ideologi, melainkan pertarungan kepentingan nyata. Ketika China membangun pulau buatan di LCS, ketika kapal-kapal nelayan asing masuk Natuna, ketika blok-blok perdagangan dan teknologi saling membatasi, apakah konsep non-blok masih relevan.

Para ahli hubungan internasional menilai bahwa "netralitas absolut" sudah tidak mungkin lagi. Yang lebih mungkin adalah "multi-alignment", di mana suatu negara menjalin aliansi berbeda sesuai isu dan kepentingannya. Artinya, Indonesia harus berani menegaskan di mana kepentingannya lebih besar: apakah pada retorika solidaritas dunia Islam di Timur Tengah, atau pada kedaulatan teritorial di wilayah maritim sendiri.

Ancaman Ideologi dan Rasionalitas Geopolitik

Salah satu tantangan besar Indonesia adalah kuatnya pengaruh ideologi domestik. Narasi pro-Hamas, pro-Iran, hingga glorifikasi kelompok bersenjata di Timur Tengah kerap mengaburkan fokus nasional. Elite politik sering menjual isu Palestina untuk kepentingan elektoral, sementara ancaman riil di Natuna dan Ambalat terpinggirkan.

Di sinilah kepemimpinan Presiden Prabowo diuji. Apakah ia akan terjebak dalam retorika populis berbasis agama, ataukah mampu memimpin Indonesia dengan perhitungan geopolitik yang rasional.

Kedaulatan teritorial tidak bisa dijaga hanya dengan doa dan dukungan simbolik. Ia memerlukan anggaran militer yang memadai, modernisasi alutsista, serta kerjasama internasional yang strategis. Dalam konteks inilah, meskipun Indonesia tidak akan bergabung formal ke NATO, bukan tidak mungkin Jakarta menjalin hubungan pertahanan yang lebih erat dengan aliansi Barat, sebagaimana Taiwan kini menjadi "NATO de facto" di Asia Timur.

Taiwan 5% PDB vs Indonesia 1% PDB

Poin paling menarik untuk dibandingkan adalah soal angka. Taiwan menargetkan belanja pertahanan 5 persen dari PDB pada 2030. Dengan PDB 900 miliar dolar AS, anggaran itu setara 45 miliar dolar. Angka ini menempatkan Taiwan dalam jajaran negara dengan belanja militer terbesar di dunia, meski secara geografis hanya sebuah pulau kecil.

Bandingkan dengan Indonesia. Dengan PDB lebih dari 1,5 triliun dolar AS, anggaran pertahanan Indonesia saat ini masih berkisar 0,8--1 persen PDB. Itu berarti sekitar 12--15 miliar dolar per tahun. Secara nominal, memang lebih besar dari Taiwan, tetapi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi ekonomi nasional maupun luas wilayah yang harus dijaga.

Jika Indonesia menaikkan belanja pertahanan ke 3 persen PDB, anggarannya akan mencapai sekitar 45 miliar dolar AS - setara dengan target Taiwan. Dengan dana sebesar itu, Indonesia bisa mempercepat modernisasi alutsista, memperluas kemampuan maritim di Natuna dan Ambalat, serta memperkuat industri pertahanan domestik.

Pertanyaannya: apakah Indonesia berani mengambil langkah seperti itu. Ataukah tetap puas dengan status quo, sambil menghibur diri dengan slogan non-blok.

Indonesia di Persimpangan Jalan

Ke depan, pilihan Indonesia akan semakin terbatas. China tidak akan berhenti memperluas pengaruhnya. Amerika Serikat tidak akan melepaskan Asia Tenggara sebagai bagian dari strategi Indo-Pasifik. Sementara itu, negara-negara ASEAN sendiri semakin terbelah.

Jika Indonesia terlalu dekat dengan Beijing, risiko yang dihadapi adalah hilangnya kepercayaan dari sekutu tradisional di Barat. Jika terlalu condong ke Barat, risiko tekanan ekonomi dari China juga besar. Namun, di tengah dilema itu, ada prinsip yang tidak boleh dinegosiasikan: kedaulatan nasional.

Indonesia bisa memetik pelajaran dari Taiwan dan Filipina. Keduanya berani menaikkan anggaran pertahanan dengan konsekuensi politik dan ekonomi yang signifikan. Indonesia, dengan segala potensinya, seharusnya mampu melakukan hal yang sama - bukan sekadar bertahan dengan anggaran minim.

Kawasan Indo-Pasifik tengah memasuki babak baru. Taiwan dengan target anggaran pertahanan 5 persen PDB menegaskan dirinya sebagai bagian tak resmi dari NATO di Asia Timur. Filipina sudah memilih menjadi garda depan bersama AS. Thailand, Malaysia, dan Kamboja menampilkan variasi posisi, sementara Indonesia masih bermain dua kaki.

Namun status quo ini tidak bisa berlangsung selamanya. Doktrin non-blok sudah kehilangan relevansi. Indonesia harus memilih jalan yang lebih realistis: memperkuat pertahanan, menjalin aliansi yang menguntungkan, dan menempatkan kedaulatan nasional di atas segala isu populis, termasuk retorika ideologi Timur Tengah.

Pertanyaannya tinggal satu: apakah Presiden Prabowo akan tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang mampu memindahkan fokus Indonesia dari retorika ideologis ke strategi geopolitik rasional, atau justru membiarkan Indonesia kehilangan pijakan di tengah perebutan Indo-Pasifik.

Lihat :

https://www.straitstimes.com/asia/east-asia/taiwan-president-ups-defence-spending-target-to-5-of-gdp

Bos Coffee, Malang, Fri', August 22, 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun