Non-Blok : Warisan yang Usang
Sejak era Sukarno, Indonesia dikenal sebagai penggagas Gerakan Non-Blok (GNB). Doktrin ini lahir dalam konteks Perang Dingin, ketika banyak negara Asia-Afrika tidak ingin terseret dalam pertarungan blok Barat dan blok Timur.
Namun dunia hari ini berbeda. Aliansi internasional bukan lagi sekadar pertarungan ideologi, melainkan pertarungan kepentingan nyata. Ketika China membangun pulau buatan di LCS, ketika kapal-kapal nelayan asing masuk Natuna, ketika blok-blok perdagangan dan teknologi saling membatasi, apakah konsep non-blok masih relevan.
Para ahli hubungan internasional menilai bahwa "netralitas absolut" sudah tidak mungkin lagi. Yang lebih mungkin adalah "multi-alignment", di mana suatu negara menjalin aliansi berbeda sesuai isu dan kepentingannya. Artinya, Indonesia harus berani menegaskan di mana kepentingannya lebih besar: apakah pada retorika solidaritas dunia Islam di Timur Tengah, atau pada kedaulatan teritorial di wilayah maritim sendiri.
Ancaman Ideologi dan Rasionalitas Geopolitik
Salah satu tantangan besar Indonesia adalah kuatnya pengaruh ideologi domestik. Narasi pro-Hamas, pro-Iran, hingga glorifikasi kelompok bersenjata di Timur Tengah kerap mengaburkan fokus nasional. Elite politik sering menjual isu Palestina untuk kepentingan elektoral, sementara ancaman riil di Natuna dan Ambalat terpinggirkan.
Di sinilah kepemimpinan Presiden Prabowo diuji. Apakah ia akan terjebak dalam retorika populis berbasis agama, ataukah mampu memimpin Indonesia dengan perhitungan geopolitik yang rasional.
Kedaulatan teritorial tidak bisa dijaga hanya dengan doa dan dukungan simbolik. Ia memerlukan anggaran militer yang memadai, modernisasi alutsista, serta kerjasama internasional yang strategis. Dalam konteks inilah, meskipun Indonesia tidak akan bergabung formal ke NATO, bukan tidak mungkin Jakarta menjalin hubungan pertahanan yang lebih erat dengan aliansi Barat, sebagaimana Taiwan kini menjadi "NATO de facto" di Asia Timur.
Taiwan 5% PDB vs Indonesia 1% PDB
Poin paling menarik untuk dibandingkan adalah soal angka. Taiwan menargetkan belanja pertahanan 5 persen dari PDB pada 2030. Dengan PDB 900 miliar dolar AS, anggaran itu setara 45 miliar dolar. Angka ini menempatkan Taiwan dalam jajaran negara dengan belanja militer terbesar di dunia, meski secara geografis hanya sebuah pulau kecil.
Bandingkan dengan Indonesia. Dengan PDB lebih dari 1,5 triliun dolar AS, anggaran pertahanan Indonesia saat ini masih berkisar 0,8--1 persen PDB. Itu berarti sekitar 12--15 miliar dolar per tahun. Secara nominal, memang lebih besar dari Taiwan, tetapi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi ekonomi nasional maupun luas wilayah yang harus dijaga.