Jika Indonesia menaikkan belanja pertahanan ke 3 persen PDB, anggarannya akan mencapai sekitar 45 miliar dolar AS - setara dengan target Taiwan. Dengan dana sebesar itu, Indonesia bisa mempercepat modernisasi alutsista, memperluas kemampuan maritim di Natuna dan Ambalat, serta memperkuat industri pertahanan domestik.
Pertanyaannya: apakah Indonesia berani mengambil langkah seperti itu. Ataukah tetap puas dengan status quo, sambil menghibur diri dengan slogan non-blok.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Ke depan, pilihan Indonesia akan semakin terbatas. China tidak akan berhenti memperluas pengaruhnya. Amerika Serikat tidak akan melepaskan Asia Tenggara sebagai bagian dari strategi Indo-Pasifik. Sementara itu, negara-negara ASEAN sendiri semakin terbelah.
Jika Indonesia terlalu dekat dengan Beijing, risiko yang dihadapi adalah hilangnya kepercayaan dari sekutu tradisional di Barat. Jika terlalu condong ke Barat, risiko tekanan ekonomi dari China juga besar. Namun, di tengah dilema itu, ada prinsip yang tidak boleh dinegosiasikan: kedaulatan nasional.
Indonesia bisa memetik pelajaran dari Taiwan dan Filipina. Keduanya berani menaikkan anggaran pertahanan dengan konsekuensi politik dan ekonomi yang signifikan. Indonesia, dengan segala potensinya, seharusnya mampu melakukan hal yang sama - bukan sekadar bertahan dengan anggaran minim.
Kawasan Indo-Pasifik tengah memasuki babak baru. Taiwan dengan target anggaran pertahanan 5 persen PDB menegaskan dirinya sebagai bagian tak resmi dari NATO di Asia Timur. Filipina sudah memilih menjadi garda depan bersama AS. Thailand, Malaysia, dan Kamboja menampilkan variasi posisi, sementara Indonesia masih bermain dua kaki.
Namun status quo ini tidak bisa berlangsung selamanya. Doktrin non-blok sudah kehilangan relevansi. Indonesia harus memilih jalan yang lebih realistis: memperkuat pertahanan, menjalin aliansi yang menguntungkan, dan menempatkan kedaulatan nasional di atas segala isu populis, termasuk retorika ideologi Timur Tengah.
Pertanyaannya tinggal satu: apakah Presiden Prabowo akan tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang mampu memindahkan fokus Indonesia dari retorika ideologis ke strategi geopolitik rasional, atau justru membiarkan Indonesia kehilangan pijakan di tengah perebutan Indo-Pasifik.
Lihat :
https://www.straitstimes.com/asia/east-asia/taiwan-president-ups-defence-spending-target-to-5-of-gdp