Apa gunanya festival megah kalau tak membentuk komunitas. Ini mungkin pertanyaan kunci dari refleksi dua dekade Java Jazz. Komunitas jazz Indonesia saat ini masih terfragmentasi. Ada yang eksklusif di lingkaran tertentu, ada yang bergerak di jalur independen, dan ada pula yang terjebak di nostalgia tanpa regenerasi.
Sebenarnya potensi untuk membentuk komunitas yang kuat itu ada. Java Jazz memiliki infrastruktur, jaringan, dan rekam jejak yang luarbiasa. Tapi perlu niat untuk menjadikan festival ini lebih dari sekadar ajang tiga hari dalam setahun. Perlu ada program berkelanjutan : workshop, kolaborasi lintas kota, mentorship musisi muda, hingga kolaborasi dengan institusi pendidikan.
Model seperti Montreux Jazz Festival di Swiss atau North Sea Jazz Festival di Belanda bisa jadi inspirasi. Festival tersebut tidak hanya jadi ajang hiburan, tapi juga lembaga budaya yang mendidik, meneliti, dan mendorong evolusi jazz di negara mereka.
Menuju Masa Depan : Relevansi dan Regenerasi
Kunci dari keberlangsungan Java Jazz (dan jazz itu sendiri) di Indonesia ada pada dua kata : relevansi dan regenerasi. Apakah festival ini masih relevan bagi generasi muda. Apakah musisi muda punya ruang untuk tampil, belajar, dan berkembang. Apakah penonton generasi Z masih menganggap jazz sesuatu yang keren, atau hanya warisan dari generasi sebelumnya.
Jika tidak hati-hati, Java Jazz bisa kehilangan daya magisnya. Ia bisa jadi terlalu besar untuk lincah, terlalu mainstream untuk idealis, dan terlalu elit untuk membumi. Tapi jika mampu menjawab tantangan zaman, Java Jazz bisa tetap menjadi lokomotif musik berkualitas di Indonesia, dan bahkan Asia.
Java Jazz, Antara Harapan dan Tanggungjawab
Dua puluh tahun Java Jazz adalah pencapaian luarbiasa. Tapi setiap pencapaian besar datang dengan tanggungjawab yang tak kecil. Java Jazz bukan lagi hanya milik promotor atau sponsor. Ia sudah jadi bagian dari sejarah musik Indonesia.
Saatnya Java Jazz memikirkan dampaknya lebih luas. Bukan hanya soal tiket terjual atau line-up artis yang memukau. Tapi juga soal warisan budaya, pertumbuhan komunitas, dan masa depan jazz Indonesia. Karena pada akhirnya, festival musik terbaik bukan yang paling ramai - melainkan yang paling berarti.
Lihat :
https://www.tempo.co/teroka/java-jazz-2025-suguhkan-1-000-musisi-di-11-panggung-1583379