Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menilik Catatan Kritis Connie Rahakundini terhadap MRO dalam UU TNI

2 April 2025   19:02 Diperbarui: 2 April 2025   19:02 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Connie Rahakundini. (Sumber : radarjakarta.id).

Menilik Catatan Kritis Connie Rahakundini terhadap MRO dalam UU TNI

Membaca surat terbuka Connie Rahakundini kepada Panglima TNI yang dipublished di media Seputar Militer edisi 28 Maret 2025, kita sedikit terkejut. Connnie yang tadinya sibuk dengan Hasto ketika Sekjen PDIP itu berurusan dengan KPK sampai-sampai berikrar bahwa dia mempunyai data-data lengkap yang dititipkan Hasto terkait abuse of power mantan Presiden Jokowi. Data yang katanya sudah dinotariskan di Rusia itu akan dibukanya apabila perlu ancamnya. Kini ia melunak dengan menggarisbawahi pernyataan Adian Napitupulu politisi PDIP yang mengatakan PDIP berhasil menggagalkan upaya TNI masuk ke semua kementerian dan Lembaga. Terkait ini Connie menyampaikan apresiasi, tapi menurutnya seharusnya PDIP tetap mampu untuk setidaknya menunda dan mendengarkan suara adik-adik mahasiswa, akademisi, kampus dan masyarakat.

Tetapi nasi sudah menjadi bubur. Pada kesempatan surat terbuka itu Connie hanya ingin menyampaikan secara langsung kepada Panglima TNI issue crucial pada UU TNI  yang luput dari pandangan masyarakat umum, termasuk ia juga heran melihat TNI yang pasrah dan diam begitu saja terkait pasal 3 tentang MRO.

Banyak orang di luar komunitas militer yang tidak memahami betapa kritisnya pengelolaan MRO dalam kesiapan tempur TNI. Pasal 3 dalam revisi UU TNI telah memberikan kewenangan pemeliharaan, perawatan dan overhaul (MRO) kepada Kementerian Pertahanan alih-alih kepada masing-masing matra (TNI AD, AU, AL), maka hal ini sangat berisiko.

Kekhawatiran Connie terletak pada masalah kemungkinan terbukanya peluang untuk korupsi apabila semua terpusat di KemHankam.

Surat terbuka Connie Rahakundini ini setidaknya menunjukkan perubahan sikapnya dari sebelumnya menyerang pemerintahan Jokowi hingga kini lebih lunak dan memberikan apresiasi kepada PDIP. Namun, kritiknya terhadap UU TNI terkait pasal 3 tentang MRO (Maintenance, Repair, and Overhaul) tetap relevan dan mencerminkan kegelisahan sebagian kalangan militer serta akademisi.

Sentralisasi MRO di Kemenhan

Revisi UU TNI yang menempatkan kewenangan penuh atas MRO di Kementerian Pertahanan mengundang perdebatan. Sebelumnya, MRO dikelola oleh masing-masing matra (AD, AL, AU) dengan pertimbangan setiap angkatan lebih memahami kebutuhan teknis dan operasionalnya sendiri. Sentralisasi ini berisiko menciptakan birokrasi yang lebih panjang serta potensi konflik kepentingan dalam pengadaan dan pemeliharaan alutsista.

Risiko Korupsi dan Inefisiensi

Kekhawatiran Connie bahwa sentralisasi MRO membuka peluang korupsi tidak bisa diabaikan. Dengan sistem terpusat, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama. Jika tidak, pengadaan dan perawatan alutsista bisa menjadi ladang korupsi baru yang menghambat kesiapan tempur TNI.

Diamnya TNI

Salah satu hal yang disoroti Connie adalah sikap "pasrah" TNI dalam menghadapi revisi ini. Bisa jadi, TNI mengikuti arahan politik atau menerima kebijakan ini dengan kompromi tertentu. Namun, jika memang ada keberatan dari kalangan internal militer, mestinya ada forum yang lebih kuat untuk menyuarakan kekhawatiran mereka.

Konteks Politik

Redanya gelombang protes terhadap revisi UU TNI, termasuk dari unjuk suara TNI, menunjukkan keputusan ini sudah diterima secara politis. Merevisi kembali UU hanya karena satu pasal (MRO) akan sulit secara prosedural, kecuali ada tekanan publik dan politik yang besar. PDIP sendiri tampaknya lebih fokus pada isu lain, seperti menolak ekspansi TNI ke kementerian sipil.

Revisi UU TNI yang menyerahkan MRO ke Kemenhan memiliki risiko, terutama dalam hal efisiensi dan potensi korupsi. Namun, secara politis, kecil kemungkinan UU ini akan direvisi kembali dalam waktu dekat. Kritik Connie bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan DPR untuk memastikan sistem MRO tetap akuntabel dan efektif dalam mendukung kesiapan tempur TNI.

Mengingat situsi global sekarang, khususnya di Laut China Selatan, juga dengan adanya pergerakan China yang semakin sengit ke perairan Taiwan, Indonesia harus segera membenahi birokrasinya,  khususnya dalam konteks MRO. Kalau memang sudah final UU-nya, seyogyanya Menhan dan Panglima TNI berkoordinasi bagaimana sebaiknya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang diperlukan disini agar peluang untuk korupsi dapat dicegah dengan katakanlah masing-masing matra TNI dapat menempatkan orang kepercayaannya Kemenhan.

Jika revisi UU TNI sudah final, maka langkah berikutnya adalah memastikan implementasinya tidak menghambat kesiapan tempur dan tidak membuka celah korupsi. Dalam konteks geopolitik saat ini, terutama di Laut China Selatan dan perairan Taiwan, kesiapan pertahanan Indonesia menjadi prioritas utama.

Sinkronisasi petunjuk pelaksanaan dan teknis (Juklak & Juknis)

Menhan dan Panglima TNI harus segera menyusun regulasi turunan yang jelas terkait mekanisme pengelolaan MRO. Harus ada transparansi dalam pengadaan dan perawatan alutsista, termasuk audit berkala oleh lembaga independen.m

Penempatan perwakilan matra di Kemenhan

Agar tidak terjadi monopoli dalam pengambilan keputusan, masing-masing matra bisa menempatkan personel kepercayaan di unit-unit strategis terkait MRO di Kemenhan.

Hal ini bisa memastikan kepentingan operasional tiap matra tetap terakomodasi.

Pengawasan dan akuntabilitas

DPR dan BPK perlu meningkatkan pengawasan terhadap anggaran MRO.

Peran media dan publik dalam menyoroti transparansi anggaran pertahanan juga penting.

Peningkatan kapasitas industri pertahanan lokal

Alih-alih terlalu bergantung pada pihak luar, Indonesia harus memperkuat ekosistem industri MRO dalam negeri agar lebih efisien dan mandiri.

Jika mekanisme ini diterapkan dengan baik, maka meskipun UU sudah final, risiko korupsi dan inefisiensi dalam pengelolaan MRO bisa diminimalisir. Ini juga memastikan kesiapan militer Indonesia tetap terjaga di tengah ketegangan geopolitik regional.

Faktor penting lainnya tentu Presiden Prabowo harus berani mengambil keputusan kemana Indonesia harus melangkah, apakah ke Barat atau ke Timur. Karena kita tidak boleh bermain dua kaki disini.

Sikap Presiden Prabowo dalam menentukan arah geopolitik Indonesia akan sangat menentukan efektivitas kebijakan pertahanan, termasuk dalam pengelolaan MRO. Bermain di antara dua kekuatan besar - Barat (AS dan sekutunya) dan Timur (China-Rusia) - memang memberikan fleksibilitas, tetapi dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa berisiko jika tidak dikelola dengan cermat.

Kompatibilitas alutsista dan MRO

Jika Indonesia lebih condong ke Barat, maka sistem MRO harus disesuaikan dengan standar NATO dan perusahaan pertahanan seperti Lockheed Martin, Boeing, atau Airbus.

Jika memilih ke Timur, maka harus beradaptasi dengan teknologi Rusia dan China, yang memiliki karakteristik dan standar pemeliharaan berbeda.

Indonesia selama ini menggunakan campuran alutsista dari kedua blok, sehingga keputusan ini akan berdampak besar pada kesiapan tempur dan rantai pasokan MRO.

Dukungan teknologi dan alih teknologi (ToT)

Barat cenderung lebih sulit dalam memberikan alih teknologi penuh, sementara Rusia dan China lebih fleksibel.

Namun, memilih Rusia atau China bisa berisiko terkena sanksi dari negara-negara Barat, seperti yang dialami beberapa negara yang membeli senjata dari Rusia.

Konsekuensi diplomatik dan ekonomi

Jika condong ke Barat, Indonesia bisa mendapatkan lebih banyak dukungan dari AS dan sekutunya, termasuk dalam penguatan industri pertahanan.

Jika condong ke Timur, ada potensi kerjasama lebih dalam dengan China dalam proyek-proyek strategis, tetapi ini bisa meningkatkan ketergantungan yang berbahaya, terutama terkait utang dan pengaruh politik.

Posisi di Laut China Selatan

Jika Indonesia mendekat ke AS dan sekutunya, maka akan semakin berseberangan dengan China yang agresif di perairan Natuna.

Jika memilih mendekat ke China, maka bisa ada konsekuensi terkait kedaulatan maritim dan hubungan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang juga bersengketa dengan China.

Prabowo harus segera menentukan arah geopolitik Indonesia dengan tegas, tanpa bermain dua kaki yang bisa melemahkan posisi strategis negara. Keputusan ini akan berdampak langsung pada efektivitas pertahanan, termasuk implementasi MRO yang sekarang dikelola oleh Kemenhan. Jika tidak segera diputuskan, Indonesia bisa kehilangan momentum untuk memperkuat postur pertahanannya di tengah dinamika global yang semakin memanas.

Lihat :

https://seputarmiliter.id/posts/516543/surat-terbuka-connie-rahakundini-bakrie-kepada-panglima-tni-pg3

Joyogrand, Malang, Wed', Apr' 02, 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun