Sepinya Kota Malang Beberapa Saat  Jelang Lebaran 2025
sampai sejauh ini kota Malang belum menerima warga yang mudik membludak. Boleh dikata 2 hari jelang lebaran ini warga yang datang dan yang pergi slow-slow aja. Yang mencolok adalah mahasiswa pendatang, ntah itu dari kota terdekat seperti Blitar, Surabaya dan Kediri atau yang terjauh misalnya mereka mahasiswa pendatang dari Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Â Kalau itu memang sejak h-7 lebaran sudah pada berpulangan ke kampungnya masing-masing, Lain halnya dengan warga lokal sepertinya yang mudik arusnya slow motion saja.
Fenomena ini menunjukkan pola arus mudik di Kota Malang lebih terkendali dibandingkan kota-kota besar lainnya.
Dominasi mahasiswa perantau
Kota Malang adalah kota pendidikan dengan ribuan mahasiswa dari berbagai daerah. Kebanyakan dari mereka sudah lebih dulu pulang sejak H-7 atau bahkan lebih awal, karena jadwal akademik memungkinkan mereka untuk mudik lebih cepat.
Warga lokal yang tidak banyak mudik
Malang memiliki banyak warga asli yang tidak perlu mudik jauh-jauh. Jika pun ada yang mudik, kebanyakan ke daerah sekitar seperti Pasuruan, Probolinggo, Jember, atau Banyuwangi yang tidak membutuhkan perjalanan panjang, sehingga tidak menimbulkan lonjakan besar di satu waktu.
Kota Malang sebagai kota tujuan, bukan kota transit
Berbeda dengan kota-kota lain seperti Jakarta atau Surabaya yang menjadi kota transit sebelum ke kampung halaman, Malang lebih banyak sebagai kota asal atau tujuan tetap. Artinya, tidak banyak orang yang hanya melintas di Malang saat mudik.
Mudik bertahap atau menunda
Bisa jadi, sebagian warga Malang memilih mudik bertahap atau menunda keberangkatan mereka, menghindari kepadatan di H-2 atau H-1. Selain itu, ada kecenderungan beberapa orang lebih memilih merayakan Lebaran di Malang bersama keluarga yang masih ada di kota.
Pola transportasi yang berubah
Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan kendaraan pribadi atau moda transportasi alternatif (seperti travel), kepadatan di terminal, stasiun, atau bandara tidak terlalu terasa sekaligus.
Jadi, arus mudik yang "slow motion" sekarang ini bisa dikatakan sebagai kombinasi dari pola mudik mahasiswa yang lebih cepat, warga lokal yang tidak banyak bepergian jauh, serta perubahan kebiasaan dalam memilih waktu dan moda transportasi. Mungkin nanti puncaknya lebih terasa di H-1 atau justru setelah Lebaran saat arus balik.
Apakah logis
Kalau memang begitu apakah mereka akan menabrak kenyataan transportasi sekarang. Banyak pilihan memang, tapi semakin mendekati lebaran harga ticket Jakarta-Malang, katakanlah begitu, akan terus meningkat. Bus AKAP contoh lain yang menarik untuk ditelisik. Perusahaan mengirim armadanya ke Jakarta dalam keadaan kosong-melompong. Dan di Jakarta mereka menaikkan penumpang sesuai jumlah seat. Yang terjadi kemudian ongkos mereka naikkan 2 kali lipat bahkan lebih dari itu. Alasannya, mereka sengaja mengosongkan Bus ketika meluncur ke Jakarta. Ketika balik kanan kembali ke Malang kenaikan ongkos yang cukup dahsyat itu mereka sebut ongkos Tuslah.
Fenomena kenaikan harga tiket menjelang Lebaran memang sudah menjadi "tradisi" yang seolah tak terhindarkan. Praktik yang dilakukan oleh perusahaan otobus (PO) AKAP, seperti mengosongkan bus saat berangkat ke Jakarta dan kemudian menaikkan tarif dua kali lipat atau lebih dengan alasan Tuslah, memang patut dipertanyakan.
Secara ekonomi, kenaikan harga tiket karena tingginya permintaan adalah hal wajar. Namun, alasan mengosongkan bus saat berangkat ke Jakarta sebagai pembenaran untuk menaikkan tarif justru lebih terlihat sebagai strategi bisnis yang memanfaatkan momen.
Tidak semua Bus harus kosong
PO sebenarnya bisa mengoptimalkan trayek dengan menyeimbangkan arus penumpang, misalnya dengan menawarkan tarif promo bagi yang ingin berangkat dari Malang ke Jakarta sebelum puncak mudik. Jika mereka sengaja mengosongkan bus, itu adalah keputusan bisnis, bukan keharusan operasional.
Kenaikan tarif lebih dipengaruhi oleh hukum pasar (supply and demand). Saat pemudik membludak di Jakarta, operator tahu bahwa mereka bisa memasang harga lebih tinggi karena opsi transportasi lain pun ikut naik. Ini bukan soal "menutupi biaya perjalanan kosong," tapi murni strategi mencari keuntungan besar saat momen puncak.
Tuslah : regulasi atau akal-akalan
Pemerintah memang menetapkan Tuslah (tambahan biaya angkutan) pada periode tertentu untuk menyesuaikan dengan lonjakan penumpang dan operasional. Tapi jika kenaikannya dua kali lipat atau lebih, itu sudah masuk ranah spekulasi harga yang memberatkan penumpang. Jika pemerintah tidak mengawasi, PO bisa bebas memainkan tarif sesuka hati.
Respon terhadap situasi ini
Pemerintah harus lebih tegas mengawasi tarif agar kenaikan tetap dalam batas wajar. Idealnya, ada aturan batas atas harga tiket, seperti pada pesawat.
Konsumen harus lebih cerdas dalam mencari alternatif transportasi, misalnya mencari tiket lebih awal, memilih moda lain, atau bahkan menggunakan "ridesharing" jika memungkinkan.
Digitalisasi tiket bus perlu diperluas agar harga lebih transparan dan tidak ada permainan harga di terminal atau agen.
Jadi, praktik "mengosongkan bus dulu lalu menaikkan tarif" ini lebih ke akal-akalan pengusaha dibanding alasan operasional yang benar-benar tak bisa dihindari.
Lalu kenyataan lain yang juga penting untuk dilihat khususnya di pasar-pasar tradisional, bahkan di retailer-retailer terkemuka seperti Indo Maret dan Alfa Maret dan retailer-retailer lainnya, kita lihat pasar tradisional sepi pembeli, demikian juga di retailer tersebut di atas. Biasanya mereka sudah menyiapkan kue-kue lebaran, tapi kali ini H-2 saja belum kelihatan.
Fenomena lesunya pasar tradisional dan ritel modern menjelang Lebaran tahun ini mencerminkan beberapa realitas ekonomi dan sosial yang sedang terjadi. Jika biasanya menjelang H-2 Lebaran toko-toko ramai dengan pembelian kue kering, sembako, dan kebutuhan lainnya, tapi kini terlihat sepi.
Daya beli masyarakat melemah
Inflasi dan kenaikan harga bahan pokok membuat masyarakat lebih selektif dalam belanja.
Banyak yang hanya membeli kebutuhan utama dan mengurangi belanja "sekunder" seperti kue Lebaran.
Uang THR kemungkinan besar tidak cukup untuk membeli barang seperti tahun-tahun sebelumnya.
Perubahan pola konsumsi
Kini orang lebih suka membuat sendiri kue Lebaran dibanding membeli dalam jumlah besar.
Masyarakat lebih memilih belanja online, sehingga pasar tradisional dan ritel fisik kehilangan sebagian pembelinya.
Banyak juga yang mungkin menunggu diskon besar di last minute, terutama di ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart.
Pergeseran kebiasaan belanja ke E-Commerce
Platform seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop semakin kuat dalam menarik konsumen.
Banyak yang merasa harga di marketplace lebih murah dibanding pasar fisik, sehingga toko konvensional jadi kalah saing.
Ketidakpastian ekonomi dan politik
Tahun politik dan transisi pemerintahan bisa membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uang.
Ketidakpastian ekonomi global dan lokal mempengaruhi psikologi pasar, Dimana orang lebih memilih menabung daripada konsumtif.
Membenahi kelesuan
Pemerintah dan komunitas bisa mengadakan kampanye untuk mendukung pasar tradisional dan UMKM.
Diskon dan promo di ritel lokal bisa ditingkatkan untuk menarik minat pembeli.
Pedagang harus mulai masuk ke dunia digital dengan sistem pre-order atau bundling paket Lebaran.
Ritel modern perlu lebih agresif dalam menawarkan promo dan cashback digital agar tetap kompetitif dengan e-commerce.
Pemerintah daerah bisa memberi subsidi atau insentif bagi UMKM dan pedagang pasar tradisional agar harga tetap kompetitif.
Kemitraan antara pasar tradisional dan aplikasi digital seperti Gojek, Grab, dan ShopeeFood perlu diperluas agar mereka tidak kalah dengan toko online besar.
Memberikan harga yang lebih transparan dan kompetitif dibanding e-commerce.
Menjamin stok yang cukup dan berkualitas, sehingga pembeli lebih percaya untuk berbelanja di pasar fisik.
So, lesunya pasar menjelang Lebaran ini bukan sekadar kebetulan, tapi efek dari kombinasi daya beli yang melemah, pergeseran pola konsumsi, dan pengaruh digitalisasi. Kalau tidak ada strategi adaptasi dari pedagang tradisional maupun ritel modern, tren ini bisa terus berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Joyogrand, Malang, Sat', March 29, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI