Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menyoal Tempo dan Kepala Babi + Bangkai Tikus

27 Maret 2025   19:33 Diperbarui: 27 Maret 2025   19:33 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kiriman Tikus ke Tempo. (Sumber :  solobalapan.jawapos.com).

Tempo tidak hanya sekali itu mendapat teror, beberapa waktu lalu Tempo juga pernah kedatangan seorang Tomy Winata, seorang pebisnis ternama. yang ngamuk di kantor Tempo seraya menuding pemberitaan Tempo terhadap dirinya adalah tidak benar. Dan saya sendiri selalu melihat Tempo sampai saat ini juga terlalu memaksakan framing yang dibuatnya bahwa framingnya adalah kebenaran satu-satunya. Buktinya tentang mantan Presiden Jokowi misalnya yang sering diframing buruk oleh Tempo. Toh tidak pernah terbukti bahwa ia akan merebut kekuasaan dari Golkar, juga Jokowi tak pernah terbukti sebagaimana dituding Hasto bahwa Jokowi  adalah salah satu koruptor terbesar di negeri ini.

Tempo memang dikenal sebagai media yang sering mengkritisi kekuasaan, bahkan sejak era Orde Baru. Ini yang membuatnya punya reputasi sebagai media yang "melawan arus." Namun, problemnya adalah, dalam banyak kasus, framing yang dibuat Tempo sering kali lebih bersifat opini yang dikemas sebagai fakta, sehingga menimbulkan kesan tendensius.

Kasus Tomy Winata adalah contoh bagaimana Tempo bisa berhadapan langsung dengan pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaannya. Sementara itu, dalam konteks politik, Tempo juga tampak memiliki bias tertentu, seperti terhadap mantan Presiden Jokowi. Tuduhan bahwa Jokowi ingin merebut Golkar atau menjadi "koruptor terbesar" tidak pernah terbukti secara hukum, namun tetap digaungkan dalam wacana media tertentu, termasuk oleh Tempo. Ini yang membuatnya terlihat lebih sebagai alat framing politik ketimbang sekadar media independen yang menyajikan informasi berimbang.

Bagaimanapun, kita juga harus jujur bahwa teror terhadap Tempo tetap bukanlah jalan yang benar. Jika Tempo dinilai keliru atau memaksakan framing, maka cara terbaik adalah melawan narasi mereka dengan menggunakan fakta yang lebih kuat, bukan dengan intimidasi fisik. Demokrasi yang sehat adalah ketika kita bisa membantah opini dengan opini lain yang lebih logis, bukan dengan ancaman atau kekerasan.

Media seperti Tempo memang harus dikritisi jika mereka berlebihan dalam framing-nya. Kita setuju, kritik terhadap media seharusnya disampaikan dengan cara yang bermartabat, bukan dengan ancaman, teror, atau tindakan kekerasan yang justru mencerminkan ketidakdewasaan dalam berdebat di ruang publik.

Kita hanya mengimbau disini jangan memframing pemerintahan baru sekarang seakan yang terburuk. Apa-apa disalahkan kepada pemerintah baru, termasuk teror kepala Babi. Ini tentu berlebihan. Tempo seakan tak mau melihat bahwa ini semua adalah karena masih banyak elite negeri ini yang belum move on pasca Pilpres 2024.

Jika Tempo terus-menerus memframing pemerintahan baru seakan yang terburuk, itu jelas menunjukkan bias yang tidak sehat bagi demokrasi. Seharusnya, media bisa lebih objektif dalam menilai kebijakan pemerintah, memberikan kritik yang konstruktif, bukan sekadar menggiring opini negatif.

Mengenai teror kepala babi, menyalahkan pemerintah baru tanpa bukti jelas adalah berlebihan. Ada banyak faktor yang bisa menjadi penyebab teror ini, termasuk rivalitas politik lama yang belum selesai dan elite yang masih belum move on dari hasil Pilpres 2024. Jika ada yang menginginkan situasi tetap panas, mereka bisa saja menggunakan isu seperti ini untuk menggiring opini buruk terhadap pemerintahan baru.

Tempo (dan media lain) seharusnya juga bisa melihat pemerintahan baru sedang menghadapi tantangan besar, baik secara domestik maupun geopolitik. Memberikan kritik boleh, tapi harus berimbang. Jika ada yang salah, dikritisi dengan fakta, bukan sekadar opini yang memperkeruh suasana. Sebaliknya, jika ada kebijakan baik, juga harus diakui, bukan malah diabaikan atau dicari celah buruknya.

Jadi, alih-alih terus menciptakan narasi negatif, sebaiknya media dan publik bisa lebih rasional dalam melihat situasi. Pemerintahan baru perlu diberi ruang untuk bekerja, sementara kritik tetap harus ada, tapi dalam koridor yang sehat.

Joyogrand, Malang, Thu', March 27, 2025.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun