Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menggunakan Falsifikasi Popper dalam Sistem Demokrasi Kita

4 Mei 2024   14:53 Diperbarui: 4 Mei 2024   14:53 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alur berpikir teori falsifikasi Popper. Foto: thecollector.com

Dalam konteks pertikaian politik antara Jokowi dan Megawati yang diam-diam terjadi setelah Jokowi tidak lagi berkiprah di PDIP, penggunaan falsifikasi Popper juga dapat membantu untuk mencari tahu kebenaran di balik pertikaian tsb. Meskipun tidak mungkin secara langsung menguji kebenaran dari perasaan atau motivasi individu, falsifikasi Popper dapat membantu untuk memeriksa asumsi dan dugaan yang mungkin ada di balik konflik tsb.

Berikut adalah cara kita dalam menggunakan pendekatan falsifikasi Popper dalam konteks Jokowi-Mega :

1. Merumuskan Hipotesis. Mulailah dengan merumuskan hipotesis yang mungkin menjadi akar dari pertikaian antara Jokowi dan Megawati. Hipotesis ini bisa berupa dugaan tentang alasan di balik diamnya keduanya atau mungkin perasaan atau kepentingan yang tidak terungkap secara publik.

2. Identifikasi prediksi yang dapat diuji. Dari hipotesis tsb, identifikasi prediksi yang dapat diuji dengan data atau fakta-fakta yang dapat diperoleh. Misalnya, prediksi diamnya Jokowi dan Megawati adalah karena adanya perbedaan pandangan politik atau strategi politik yang berbeda antara keduanya.

3. Mengumpulkan bukti empiris. Lakukan pengumpulan data atau fakta-fakta yang relevan yang dapat digunakan untuk menguji prediksi yang telah diidentifikasi. Hal ini dapat meliputi pernyataan publik, tindakan politik yang diam-diam diambil oleh keduanya, atau informasi dari sumber-sumber terpercaya yang terkait dengan hubungan politik mereka.

4. Analisis kesesuaian. Analisis apakah bukti empiris yang dikumpulkan mendukung atau menentang prediksi yang telah diidentifikasi. Jika terdapat bukti yang mendukung prediksi tab, hal ini dapat menguatkan hipotesis yang telah dirumuskan. Namun, jika bukti yang ditemukan tidak sesuai dengan prediksi, hal ini dapat menjadi pertanda bahwa hipotesis tsb perlu dipertanyakan atau ditolak.


5. Evaluasi dan kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, evaluasilah apakah prediksi yang diuji telah terbukti salah atau tidak. Jika terdapat bukti yang kuat mendukung prediksi, maka hipotesis tsb mungkin memiliki validitas yang lebih tinggi. Namun, jika terdapat bukti yang menentang prediksi, hal ini dapat mengarah pada penolakan atau modifikasi hipotesis.

Dengan menggunakan pendekatan falsifikasi Popper dalam konteks pertikaian politik antara Jokowi dan Megawati, kita dapat memahami lebih dalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan politik mereka dan mencari tahu kebenaran di balik diamnya keduanya.

Dalam perdebatan publik di ruang publik seperti melalui media TV, kita juga dapat mengoreksi apakah dibenarkan orang berpikir sebelum data ada. Misalnya berasumsi dari gestur bahwa presiden Jokowi telah memainkan politik dinasti di akhir masa jabatannya. Atas dasar itu ybs kemudian menyatakan Keputusan MK belum lama ini tidak sah karena telah mengiyakan politik dinasti.

Dalam situasi semacam itu, membuat asumsi atau hipotesis sebelum data ada bukanlah praktik yang diinginkan, terutama jika asumsi tsb digunakan sebagai dasar untuk menyatakan suatu keputusan atau pernyataan yang signifikan. Hal ini karena asumsi tanpa dukungan data atau bukti empiris yang kuat dapat menyebabkan penyebaran informasi yang tidak akurat atau bahkan menyesatkan.

Dalam kasus tsb, orang yang berpikir Presiden Jokowi telah memainkan politik dinasti dan kemudian menyimpulkan keputusan MK tidak sah karena terkait dengan politik dinasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun