Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Patung Tua di Tengah Kampung

27 Januari 2023   17:22 Diperbarui: 27 Januari 2023   17:33 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Terus, kau mau merombak patung itu?" Noval, teman Manus yang berbadan gempal itu bertanya penuh selidik sambil mengernyitkan dahinya.

Manus berbalik lagi dan memandang mereka dengan tatapan geram. "Kau tak usah menanyakan hal itu. Akan tiba saatnya pekik perlawanan kukumandangkan terhadap jejak-jejak kotor kolonialisme."

Manus berlalu meninggalkan teman-temannya yang diam dalam bingung. Manus sadar bahwa perubahan itu perlu pengorbanan dan pengorbanan selalu menyakitkan. Bagaimanapun, ia takkan mundur.

***                 

Koar-koar Manus hari itu telah menimbulkan huru-hara di kampung Sejuk. Sebagian pemuda berempati padanya, sebagian lagi masih bimbang. Sementara itu, para petinggi kampung menyalak pedas dan tegas mengutuknya.

"Selama mentari belum lelah berkobar, sekali-kali patung itu tak akan digeser!" kata Bar-Kobar, sang kepala kampung dengan wajah serius sambil menghentak meja sidang di balai desa malam itu.

Sepertinya seluruh pegawai kampung lain menyetujuinya. Mereka nampak menganggukkan kepala dan menyimak dengan baik pembicaraan sang kepala kampung sambil mencondongkan badan ke depan.

"Terus, apa yang harus kita lakukan?" tanya Pak Ance, seorang pegawai kampung berkumis tebal menyela pembicaraan sang kepala kampung. Sementara itu para pegawai lain sedang asyik menyeruput kopinya masing-masing.

"Kita harus melindungi patung itu, apa pun yang terjadi dan bagi para pemberontak kita sediakan hukuman," tukas sang kepala kampung dengan tekad yang bulat dan tegas.

Tekad kepala kampung itu menggambarkan trauma warga yang belum sembuh. Para petinggi kampung percaya bahwa usikan terhadap kedudukan sang patung hanya membawa malapetaka. Tiga puluh tahun lalu ketika Bar-Kobar memerintahkan penghancuran sang patung, banyak warga yang mati mendadak. Bahkan satu hari setelahnya angin puting-beliung datang menyerang. Itulah suatu sejarah memilukan yang masih jelas membekas.                                                                 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun