Di ujung senja yang retak di matanya
seorang gadis duduk memeluk angin
dengan jantung yang setengah dingin
ia bukan lagi anak kecil yang menunggu
di jendela rumah kayu
sambil menggambar wajah ayah kandung
di embun kaca yang selalu menghilang saat pagi datang.
Ayah sambungnya, lelaki tua berjiwa remuk
menyapanya setiap pagi dengan suara yang takut
bahwa cintanya ditimbang di atas nama
yang tak pernah benar-benar menyapa
Ia mencintai gadis itu seperti hujan
yang jatuh perlahan di genteng yang luka
meski tak pernah diminta
Namun gadis itu tumbuh
dengan pertanyaan yang tak pernah usai
"Di mana Ayah?"
"Apakah aku pernah benar-benar dicinta
oleh ia yang mengukir namaku di akta
tapi tak sudi mengetuk pintu waktu?"
Lalu pada musim keempat patahnya
ia memilih mencintai seorang lelaki
yang sama rapuhnya
sama sakitnya
sama rindunya pada peluk
yang tak sempat jadi rumah
Bukan karena ia sudah sembuh
tapi karena ia ingin tahu
bagaimana rasanya dicintai
meski dengan hati yang tak utuh
Ia berkata dalam bisik kepada langit
"Aku bukan anak dari pelukan yang selesai,
tapi dari luka yang tumbuh jadi suara."
Dan ayah sambungnya diam-diam menangis
di balik pintu yang tak dikunci
karena ia tahu
gadis itu mencintai
dengan dendam yang manis
kepada lelaki yang tak pernah datang
meski cuma sekali
di ulang tahunnya yang ke tujuh belas
Kini ia bukan hanya gadis
tapi puisi yang gagal dirayakan oleh ayahnya sendiri
Dan cinta yang ia punya
adalah cara lain untuk berdamai
dengan kehilangan yang tak pernah
minta maaf
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI