Mohon tunggu...
TB PANDUTIRTAYASA HAKIM
TB PANDUTIRTAYASA HAKIM Mohon Tunggu... Pengacara - Mahasiswa

Saya adalah Salah satu Mahasiswa aktif Pascasarjana Di Universitas Mathla'ul Anwa Banten,Hoby saya liburan atau bisa di sebut traveling dan juga Menyukai otomotif atau di sebut juga modifikasi dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Evaluasi Sistem Eksekusi Hukuman Mati Dalam Hukum Pidana Nasional

22 Maret 2024   21:48 Diperbarui: 30 Maret 2024   12:46 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Para Terdakwa Pembunuhan yaitu : Ferdy Sambo dituntut hukuman pidana mati, Putri Candrawathi divonis 20 tahun penjara, Kuat Ma'ruf divonis 15 tahun penjara dan Ricky Rizal divonis 13 tahun penjara, Richard Elizer dijatuhi vonis hukuman satu tahun enam bulan kurungan penjara. Para Terdakwa dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Khusus untuk Ferdy Sambo dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.3

Ada lagi vonis pidana mati yang sudah dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tahun 2020 kepada beberapa terdakwa seperti Kelvin dkk dan masih menjadi

polemik karena kuasa hukumnya tidak bisa dan lebih tepatnya tidak diperkenankan menghadirkan para saksi yang meringankan (a de charge) ke dalam persidangan bahkan ada beberapa saksi kunci tindak pidana pembunuhan berencana yang masih dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sampai sekarang.

Penerapan Pidana Mati pernah dilakukan uji materiil (judicial review) di Mahkamah Konstitusi dalam Undang-undang Nomor: 22Tahun 1997 tentang Narkotika, disatu pihak menunjukan eksistensi pidana mati di Indonesia semakin memiliki legalitas, di pihak lain putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menjadi causa celebre (pemicu) munculnya kembali polemik yang tidak akan pernah tuntas terkait pro dan kontra pidana mati di Indonesia (ada dissenting opinion) mengenai tetap dipertahankannya pidana mati dalam hukum pidana positif yang berlaku di Indonesia.

Terdapat empat pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion) dari hakim konstituisi. Hakim-hakim tersebut adalah Hakim Konstitusi H. Harjono, Hakim Konstitusi H. Achmad Roestandi, Hakim Konstitusi H.M.Laica Marzuki, dan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan. Alasan dissenting opinion Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan menolak adanya pidana mati.: Bagi hak untuk hidup, tidak terdapat petunjuk yang menyatakan pembatasan hak itu dapat dilakukan dengan menghilangkan hak hidup itu sendiri, meskipun diakui dan telah menjadi bagian dari hak asasi orang lain yang harus pula dihormati, hak untuk hidup boleh dibatasi karena hukum membutuhuhkan keadilan untuk mengembalikan keseimbangan yang dicederai oleh pelanggaran yang dilakukannya berupa pembatasan ruang geraknya dengan ditempatkan dalam tempat khusus serta menjalani pembinaan-pembinaan tertentu yang diwajibkan.

Beberapa Pegiat Hak Asasi Manusia terkait penerapan pidana mati di Indonesia bukan saja karena adanya putusan Mahkamah Konstutisi tanggal 20 Nopember 2007 yang menolak penghapusan pidana mati bagi para pelaku tindak pidana Narkotika. Reaksi yang sama muncul pula pada tahun 2003 ketika presiden Megawati menolak permohonan grasi dari enam orang terpidana mati. Reaksi yang tidak kalah sengit dan dibicarakan secara luas, ketika Kusni Kasdut dijatuhi hukuman mati dan permohonan grasinya ditolak presiden pada bulan Nopember 1979, para teroris bom bali dan Fredy Budiman juga akhirnya dihukum mati. Reaksi pegiat HAM

semakin kencang manakala amandemen ke dua UUD 1945 memberikan alas hukum konstitusional terhadap perlindungan HAM.

Inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang- Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh empat terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.

Pasal 28 A Amandemen UUD 1945 : bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan kehidupannya, ada pendapat bahwa eksistensi pidana mati di Indonesia bertentangan dengan Pasal 28 A dan dianggap telah melanggar hak konstitusional dan merupakan tindakan pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM adalah :“Setiap perbuatan seseorang atau sekelompok termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan

mekanisme hukum yang berlaku”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun