Di antara hiruk-pikuk kuliner jalanan Klaten yang kian beragam, seorang pemuda berusia 19 tahun, Muhammad Fakkar Zakiyan, mencuri perhatian lewat usahanya yang ia rintis sejak Ramadan 2024. Nama usahanya singkat dan mudah diingat yaitu Aciku sebuah usaha makanan berbasis aci (tepung tapioka) yang kini perlahan tumbuh menjadi favorit banyak orang, khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa.
Dari pinggir jalan hingga media sosial, Fakkar dengan penuh semangat memperkenalkan produk yang ia racik sendiri. Dalam setiap tusukannya, ada cerita, perjuangan, hingga cita-cita besar yang ingin ia wujudkan. Usaha ini bukan hanya tentang menjual makanan, tetapi tentang keberanian mengambil risiko, membangun identitas, dan menyebarkan inspirasi.
Saat ditanya mengapa memilih berjualan makanan berbahan dasar aci, Fakkar menjawab sederhana, "Karena sebelumnya tertarik dengan dunia usaha, dan saya lihat makanan dari aci masih belum banyak dijual di Jogja. Padahal potensinya besar."
Aci yang biasanya hanya dikenal dalam bentuk cilok atau cimol di tangan Fakkar diolah menjadi lebih kreatif. Ia menawarkan tiga varian utama yaitu Cipak (aci berisi ayam), Cipuk (aci kerupuk), Cibay (pangsit isi aci)
Semua produk dibuatnya sendiri dari bahan dasar tepung tapioka yang diuleni hingga kalis, kemudian dimasak seperti cilung dan dimodifikasi resepnya agar sesuai selera anak muda masa kini.
"Saya memodifikasi resepnya agar tidak membosankan. Anak-anak sekolah suka yang gurih, pedas, dan bisa dikombinasikan," ujarnya sambil menunjukkan varian saus yang disediakan di gerobaknya.
Aciku bukan usaha pertama yang pernah digeluti Fakkar. Sebelumnya, ia sudah mencoba berbagai usaha kecil, termasuk thrifting. Namun usaha ini terasa lebih cocok dan menjanjikan. Ia memulai dari titik nol, dengan modal terbatas dan dukungan dari sepupunya, Bagus Faisal, yang kini menjadi partner bisnisnya.
"Tantangan paling berat itu waktu hujan deras, karena tempat jualannya outdoor, jadi kadang harus tutup. Selain itu, kalau ada event mendadak juga bisa memengaruhi penjualan," tutur Fakkar.
Namun bukan itu tantangan terbesarnya. Ia pernah hampir menyerah karena kelelahan dan tekanan mental. "Pernah pengin nyerah, tapi karena ada dukungan dari partner, jadi saya tetap lanjut," ungkapnya. Bagus, sang sepupu, menjadi penyemangat yang tak tergantikan dalam masa-masa sulit tersebut.
Meski tempat berjualannya hanya di pinggir jalan, Fakkar tak lupa memanfaatkan media sosial sebagai alat promosi. Ia mengunggah foto produk, testimoni pelanggan, serta membuat konten ringan agar lebih dekat dengan audiens.
"Instagram dan WA penting banget. Saya nggak bisa selalu jualan offline, jadi saya tetap aktif online buat jaga awareness," katanya. Hal ini penting terutama saat hujan atau ada kendala lapangan.
Menurutnya, banyak UMKM yang gagal karena kurang promosi. Karena itu, sejak awal ia sudah belajar untuk mengelola branding dan komunikasi dengan pelanggan secara konsisten.
Respons terhadap produk Aciku ternyata luar biasa. "Anak-anak sekolah paling excited. Mereka suka banget sama cipuk dan cipak," kata Fakkar sambil tertawa kecil. Antrean sering kali mengular saat jam istirahat sekolah atau selepas maghrib.
Harganya yang terjangkau dan rasanya yang unik menjadi kombinasi sempurna. Tidak hanya dari kalangan anak-anak dan remaja, mahasiswa dan pekerja muda juga mulai menjadi pelanggan tetap.
"Yang bikin senang itu kalau ada pelanggan yang bilang, 'Mas, rasanya kayak jajanan waktu kecil.' Itu jadi semangat," katanya.
Bukan hanya keuntungan pribadi yang ia rasakan. Aciku sudah membantu teman-teman dekatnya mendapatkan penghasilan tambahan. Di saat banyak anak muda pasif, Fakkar justru membuka lapangan kerja kecil yang bermakna besar.
"Bisa bantu teman sendiri buat kerja itu rasanya beda. Walaupun kecil, tapi mereka bisa bantu keluarga juga," ucapnya dengan bangga.
Ia percaya bahwa berjualan bukan cuma soal ekonomi. "Berjualan itu ibadah juga. Ini sunnah Nabi. Dan dari sini saya belajar banyak, dari mengatur uang, bersikap jujur, sampai menghadapi orang-orang yang macam-macam," tambahnya.
Ketika ditanya soal cita-citanya ke depan, Fakkar tak ragu menjawab. "Saya ingin buka cabang di kota lain, mungkin ke luar Jogja juga. Kenapa nggak? Selagi muda, harus berani coba semuanya."
Menariknya, Fakkar memaknai warung kecilnya lebih dari sekadar tempat jual beli. Ia menyebut bahwa usaha ini lahir dari kesenjangan sosial dan keinginannya membuktikan bahwa anak muda yang disepelakan bisa mengejutkan.
"Berbahagialah wahai para yang disepelekan, karena kalian bisa tampil mengejutkan," tulisnya suatu kali di status WhatsApp, yang kini jadi semacam motto hidupnya.
Dari keteguhan, kreativitas, dan kemauan belajar, Fakkar perlahan membangun narasi hidupnya sendiri. Ia tahu bahwa jalan UMKM tidak mulus. Namun ia percaya bahwa jalan ini adalah jalan belajar dan bertumbuh.
Kisah Fakkar dan Aciku adalah potret semangat wirausaha muda Jogja yang tak gentar menghadapi tantangan. Ia memulai dari sebuah ide sederhana, tepung aci dan mengubahnya menjadi pengalaman, pembelajaran, serta peluang.
Di tengah era yang mendorong instant gratification, kisah ini mengajarkan bahwa kesabaran, kerja keras, dan niat yang lurus bisa membuka pintu kesuksesan perlahan namun pasti. Ia tidak hanya menjual jajanan ringan. Ia menjual semangat, karakter, dan inspirasi.
Bagi pembaca Kompasiana, mungkin cerita ini bisa menjadi pengingat bahwa usaha besar selalu berawal dari langkah kecil. Dan mungkin, aci yang sederhana bisa menjadi awal dari perubahan besar jika ada keberanian untuk memulai.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI