Kebetulan hari itu, anak dan istri menginap di rumah mertua. Mertua kangen pada cucu dan anaknya. Sehingga suasana rumah yang biasanya bising, menjadi sepi.
Lelaki itu menyambut minuman yang saya berikan dengan langsung menghabiskannya. Tanpa sisa. Sepertinya selain kehausan, dia tidak memiliki aturan-aturan dalam beberapa hal. Setidaknya, ya diminum perlahan. Tidak menunjukkan sisi bar-bar semacam itu.Â
Lelaki itu mengaku namanya Sobirin. Ia tinggal di kota G. Kira-kira 2 jam perjalanan dari rumah saya. Lalu ia menjelaskan jika dirinya membutuhkan nasihat.Â
"Kenapa harus saya?" saya memotong pengantarnya yang belepotan.
"Itu tidak bisa kujelasan saat ini. Suatu ketika akan kubuka. Ini demi kebaikan kita Pak."
Lelaki itu tampak serius mengucapkan itu. Sepertinya ia tidak peduli bagaimana reaksi saya. Ia segera melanjutkan.
"Sudah lama aku ingin mengakhiri hidup ini. Sepertinya hanya itu cara yang paling baik untuk keluar dari jurang penderitaan yang membelitku"
Saya tersedak mendengarnya. Tentu saya tidak salah dengar. Ia mengungkapkan dengan jelas. Ia tidak terdengar putus asa. Atau mengatakan itu dengan pikiran yang sangat berat. Justru dia bicara dengan nada optimis. Demikian saya menangkapnya.
"Bapak. Aku minta nasihat dari Bapak. Model kematian seperti apa yang cocok untukku. Agar kematian yang menakutkan bagi sebagai orang itu, dapat kulalui dengan menyenangkan"
Karena lelaki itu tidak menunjukkan gelagat bercanda, maka saya menyikapinya dengan serius pula. Pertama saya tidak bisa menjawab langsung apa itu yang tepat baginya.
Kelebatan pertama dalam kepala saya, saya harus mengajak lelaki itu untuk ikut dengan saya. Berkunjung ke kampung kemiskinan di pinggir kota. Sembari memikirkan jawaban dari nasihat macam apa yang akan saya berikan.Â