Lelaki itu tanpa ragu setuju. Ia bahkan mengaku tak tahu jika ada tempat semacam itu.
"Pasti menyenangkan melihat orang-orang miskin. Itung-itung pengalaman spiritualitas" ujarnya.
Sekitar tiga puluh menit, kami tiba di tempat tujuan. Saya memarkir motor di tempat parkir tamu-tamu yang berkunjung. Setiap akhir pekan, kampung ini selalu saja ramai. Orang-orang dari luar kota banyak yang berbondong-bondong ke sini. Saya juga tidak habis pikir, lelaki yang berasal dari kota G ini tidak tahu tempat ini.
Tiba-tiba saja, saya mendapat ilham. Nasihat apa yang harus saya berikan kepada lelaki yang sekarang berdiri di hadapan saya.
Mas Sobirin, demikian saya memulainya sembari berjalan beriringan. Beberapa orang yang baru saja menikmati udara kemiskinan menampakkan wajah yang gembira.
"Suatu waktu saya juga pernah punya semacam pilihan seperti Mas Sobirin. Saya bertekad untuk mengakhiri hidup. Bedanya, bukan penderitaan yang menjadi latar belakang saya. Tetapi kegembiraan yang berlebihan."
Kami terus melangkah perlahan. Sobirin dengan seksama memperhatikan ucapan saya.
"Jika memang penderitaan yang mendera Mas Sobirin, ikuti saya. Saya akan menunjukkan kepada sampean, bagaimana orang-orang mengakhiri hidupnya dengan bijaksana."
Saya tersenyum. Sobirin juga tersenyum.Â
Kami memasuki gapura yang terbuat dari bambu. Sebagai penanda jika kami telah memasuki kampung kemiskinan.Â
Beberapa satpol pp tampak berjaga-jaga. Tak jarang, pengunjung diserbu puluhan peminta-minta. Bahkan pernah sampai ada yang tertusuk. Toh, kawasan ini tetap ramai. Bahkan pemerintah kota turun tangan dan melestarikannya.